Disekolahkan di TK Bhayangkari, Pontianak, Kalimantan Barat, Andy sedari kecil diajarkan bahwa Indonesia adalah rumah untuk semua orang dengan latar belakang, suku, agama, ras yang berbeda-beda dari Sabang sampai Merauke. Tertanam di benaknya Indonesia, negara yang indah dengan warga yang saling gotong-royong membangun tataran hidup yang saling mencerdaskan dan menyejahterakan semua orang. Andy menghayati hal tersebut sebagai bebas berjalan dimanapun tanpa ditanya asal usul, jenis kelamin, warna kulit; bebas berkarya dan berusaha selama tujuannya membangun tatanan hidup yang lebih baik. Saat cita-cita anak-anak seumurannya adalah menjadi dokter, pilot, maka cita-cita Andy lebih abstrak lagi, yaitu menjadi anak yang berguna bagi bangsa dan negara.
Masuk SMP, Andy remaja terganggu dengan “hilang”-nya beberapa teman-teman seumuran, khususnya dari keluarga Cina miskin yang dikawinkan dengan orang Taiwan. Di daerah kelahirannya Pontianak semasa Andy SMP dahulu, perkawinan anak adalah kejadian biasa. Sementara Andy remaja terus bertanya-tanya “Ada apa sih?Mengapa hal ini terjadi? Mengapa mereka harus pergi dikawinkan di usia muda dan rata-rata kawin dengan orang yang usianya dua kali lipat lebih tua?”, pikirnya. Yang lebih mengganggu lagi, saat Andy resah, ia melihat sekelilingnya tidak resah dan merasa hal tersebut ‘biasa aja’, “Toh anak perempuan akan kawin dan setelah kawin bisa kirim uang,” biasanya adalah jawaban yang ia dapatkan. Keresahan ini ia bawa terus selepas SMA, saat masuk Universitas.
Memilih untuk menjadi diplomat saat melihat Ali Alatas muncul di TVRI menjelaskan peristiwa berdarah Timor Timur, Santa Cruz, Andy mengambil jurusan Hubungan Internasional, Universitas Indonesia. Dalam skripsinya Andy menulis mengenai perkawinan transnasional sebagai satu konsekuensi tata kelola internasional yang menimbulkan ketimpangan antarnegara dan ketimpangan di masyarakat itu sendiriekitar tahun 2000, pihak (agen) pencari anak perempuan yang kemudian kawin mendapatkan Rp. 500 ribu. “Itu besar nilainya, dikalikan jumlah pasangan per tahunnya, “ tukasnya. Menurut Andy, penting untuk memahami betapa sebuah peristiwa yang dianggap “biasa saja” ternyata menjadi peristiwa politik besar di tingkat global. Saat digali dengan data, ada indikasi negara asal pengantin perempuan searah dengan investasi negara tujuan. Juga, dikenali potensi trafficking dengan modusnya seperti pencaloan Tenaga Kerja Wanita (TKW), hanya cara berangkatnya ke luar negerinya saja yang berbeda, yaitu lewat perkawinan. “Saat tiba di Taiwan ternyata banyak dari mereka tinggal di pedesaan, bukan di kota seperti yg mereka harapkan. Mereka kawin sama-sama dengan petani juga. Nilai tukar mata uang yang berbeda memungkinkan mereka untuk mengirim uang ke orang tua, sehingga terlihat seperti ekonominya lebih baik. Di Jawa Barat fenomena yang mirip adalah ‘kawin kontrak’ dengan warga negara Arab,” ungkap Andy. Pada saat menyusunnya Andy mendapatkan tantangan, “Saya ditanya, apakah benar ini kajian Hubungan Internasional dan bukan kajian Sosiologi?” Kenangnya. Teknik wawancara Andy menggunakan metodologi kombinasi, gender dan perspektif feminis yang tidak lazim pada masa itu, akhirnya mendapatkan apresiasi yang baik. Skripsi ini kemudian diangkat menjadi salah satu unggulan untuk S2 bidang Magister Kajian Wanita yang diterbitkan oleh Ewha Institute Korea, “Padahal saat itu saya kan masih S1 saja,” ujarnya.
Pada peristiwa Mei 1998, tataran negara yang dikenalkan pada Andy sejak kecil dijungkirbalikkan. Sebelumnya ia bebas berdiskusi dan berjalan di manapun, namun pada 13 dan 14 Mei itu oleh teman2nya ia dilarang pergi kemana-mana karena “kuatir jadi korban.” Andy merasa sangat marah. “Masalahnya apa? Emang kita bisa milih lahir dengan muka model apa, kulit macam apa, mata seperti apa? Kan tidak bisa!” Peristiwa ini membuat Andy memahami bahwa Indonesia sebagai negara belum selesai berbicara masalah kebhinnekaan, “Bangunan negara ternyata belum jadi. Saya sangat marah dan shock, di tengah peristiwa politik yang demikian besar, perempuan menjadi bertambah rentan. Kalau cuma dipukul, ya mungkin semua juga kena pukul, tapi ancaman kekerasan seksual seperti diperkosa menjadi nyata.” Saya pikir, ini brengsek banget dan harus diperbaiki. Karenanya saya memutuskan untuk berubah haluan dari diplomat menjadi bekerja di dalam negeri bersama-sama masyarakat.”
Orang-orang yang paham akan bisa mengubah hukum menjadi baik. Sebaliknya, ada hukum yang baik pun diantara orang orang yang tidak paham, tidak bisa membuat sebuah kebaikan dan tidak akan menjadi apa-apa
Saat ditanya mengenai gelarnya Masternya di bidang Media and Communication Studies dari Goldsmiths College, University of London, Andy mengutarakan bahwa tujuannya sederhana. “Untuk memperbaiki keadaan kalau hanya mengandalkan hukum saja tidak cukup. Orang-orang yang paham akan bisa mengubah hukum menjadi baik. Sebaliknya, ada hukum yang baik pun diantara orang orang yang tidak paham, tidak bisa membuat sebuah kebaikan dan tidak akan menjadi apa-apa. Untuk membuat masyarakat luas paham, butuh kampanye publik yang baik dan pintar. Dengan memahami logika orang dan media bekerja, termasuk media seni dan budaya, kita bisa menggunakannya dengan lebih efektif untuk kepentingan publik. Saya sekolah lagi dengan tujuan itu. Sederhana saja.”
Saat ditanya tokoh inspirasi, Andy mengenang perjalanannya ke Taiwan untuk melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana perjalanan perempuan Indonesia yang dinikahkan di sana. Ia bertemu salah satu inspirasinya, seorang dosen yang sadar pada tanggung jawabnya untuk turut merespon gelombang perempuan yang datang sebagai mempelai di negara tersebut (foreign bride). Dosen itu mensyaratkan untuk lulus mata kuliahnya, mahasiswa harus turut mengajarkan Bahasa Cina untuk para foreign bride. Para perempuan mempelai asing ini kemudian membuat perkumpulan sendiri sebagai ruang saling menguatkan dan memperjuangkan perbaikan kondisi kehidupan mereka. Sementara para mahasiswa yang terlibat terus tumbuh menjadi agen-agen perubahan sosial paska kuliah. “Saya jadi belajar hubungan akademis dan perubahan sosial di masyarakat secara nyata. Lewat perkumpulan itu dan kerjasama dengan institusi pendidikan, mereka berhasil mendorong pemerintah Taiwan lebih responsif, termasuk dalam penanganan kekerasan terhadap foreign brides.”
Dalam refleksinya, Andy menekankan pentingnya penelitian. “Penelitian bisa lahir dari kegelisahan kecil, yang menjadi inspirasi perbaikan yang lebih luas.” Misalnya saja, hasil penelitiannya ini menjadi salah satu rujukan penyusunan kebijakan tentang penanganan trafiking baik di tingkat nasional dan daerah Kalimantan Barat.
Untuk Andy, Indonesia adalah mimpi indah yang belum selesai, dan, “Kita tidak boleh menyerah, menyadarkan masyarakat untuk terus berkarya agar negara ini menjadi lebih baik, “ ujarnya.
Sumber: Andy Yentriyani. Wawancara oleh Ayu Larasati, Jakarta, 4 November 2017. Disunting oleh Siska Doviana.