Konferensi Tahunan Media Daring (Online): Antara Pembaca, Laba dan Etika



2012-02-23-13.37.01-11.jpg

Memperingati hari buruh yang jatuh pada tanggal 1 Mei 2012 menarik untuk mengkaji apa yang terjadi pada pekerja media daring (online) di Indonesia dan pendapat individu-individu yang memperkerjakannya.

Kebetulan pada tanggal 23 Februari 2012 yang lalu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengadakan Konferensi Tahunan Media Daring (Online) di Ruang Sasono Mulyo 2, Hotel Le Meridien Jakarta dengan tajuk Antara Pembaca, Laba, dan Etika. Acara ini dimoderatori oleh Donny B.U. dari ICT Watch, sesi kedua acara konferensi bertemakan, “Konvergensi Media” diisi oleh empat orang nara sumber yaitu Edi Taslim Edi Taslim, Vice Director Kompas.com, Karaniya Dharmasaputra Editor in Chief Vivanews.com, Daru dari Tempo Online, dan Steve Christian dari Kapanlagi.com

Edi Taslim mengemukakan bahwa bisnis media daring (online) dari sisi Return of Investment (RoI) atau pengembalian investasinya bila ditilik dari infrastruktur sangat beresiko, karena sangat tidak pasti, sebagai contoh pembelian server dan bandwith yang diperkirakan akan tahan selama 5 tahun, sudah penuh saat baru berjalan 2 tahun. Tidak hanya dari sisi infrastruktur saja, namun dari sisi teknologinya yang kemudian ganti sama sekali cukup menakutkan. Untuk perusahaan yang telah berinvestasi media daring pemasukannya media daring malah didapatkan bukan dari iklan melainkan dari pembuatan profil perusahaan, dan kerjasama antar saluran. Untuk segala sesuatu yang berbau digital, tidak ada rumus yang jelas untuk segala sesuatunya, harus langsung terjun, mengalami sendiri, dan menanganinya sambil jalan.

Karaniya Dharmasaputra memfokuskan dengan pola konsumsi pengguna akhir yang sudah konvergen dan permasalahannya justru terletak pada perusahaan medianya. Karena pengguna akhir sudah ahli dalam mengkonsumsi media, Karaniya mempertimbangkan bahwa sang media tidak bisa mengimbangi dan kewalahan menghadapi hujan teknologi. Ia menganggap bahwa jurnalis yang tidak siap untuk keluar dari cara cara konvensional mereka, akan tertinggal. Konvergensi untuknya bukanlah persoalan perangkat apa yang dipakai tetapi justru untuk mengeksplorasi kekuatan kekuatan platform yang berbeda. Banyak pemilik media tidak melihat media digital sebagai kesempatan namun ancaman terhadap media tradisional yang sekarang ada. hal ini lumrah karena untuk ruang redaksi (Newsroom) yang sangat konvergen membutuhkan investasi yang sangat mahal. Struktur ruang redaksi (Newsroom) untuk media yang konvergensi harus dirombak dan riskan sekali untuk stablitas organisasi apabila ingin memenuhi syarat konvergensi penuh. Untuk Indonesia persoalan konvergensi agak terbelakang.

Sementara itu pekerja media berpendapat bahwa pemilik media memeras tenaga mereka sebanyak mungkin untuk keuntungan sebesar mungkin. Menurut Karaniya, alih alih dilihat untuk upaya pemerasan tenaga pekerja pers, sebaiknya kesempatan-kesempatan ini dilihat untuk membuka diri sebagai tantangan untuk mencoba berbagai media. Karaniya melanjutkan bahwa perangkat kemampuan untuk media daring tidak bisa mengandalkan perangkat kemampuan yang sama dengan media tradisional. Berbeda dengan Edi Taslim, Karaniya berpendapat kecenderungan media di lima tahun kedepan adalah pembaca yang membutuhkan berita yang berkualitas, berita berita yang lebih mendalam akan dicari oleh pembaca dan konsumen yang makin pintar. Sebagai perbandingan media daring di Indonesia memproduksi sekitar 600-800 berita perhari, padahal di luar negeri hanya sekitar 40 berita yang diproduksi, jadi jelas ada perbedaan jumlah yang berpengaruh pada mutu berita.

2012-02-23-14.27.39-1024x616.jpg

Daru sebagai pembicara ketiga mengurut berdasarkan sejarahnya media daring di tahun 1995 masih dilihat sebagai prestige dan bukan bisnis. Minimnya pelatihan untuk platform daring juga ditambah dengan konflik kebijakan editorial, lucunya bukan persoalan masalah etika karena Tempo memperlakukan kebijakan isi untuk dalam jaringan (online) maupun luar jaringan (offline) dengan sama. Konflik justru terjadi untuk pemilihan beritanya, masalah berkisar pada berita yang ditampilkan “bukan gayanya tempo”, contohnya cerita tentang “Pria juara masturbasi sedunia” yang menjadi berita terpopuler. Berita berita politik justru tidak disukai dalam versi itu daring, namun saat berita tersebut diliput dari sisi lain “Ibu Anas tidak suka nonton TV dirumah” berita yang sama menerima klik dari banyak sekali orang. Konten yang tidak memanfaatkan kelebihan media digital akan merana. Ini tidak diketahui apakah karena Sumber Daya Manusia yang kurang atau memang hal tersebut tidak diprioritaskan. Daru berpendapat masih ada kecenderungan untuk kontrol kualitas rendah dimana keputusan diambil apabila medium menggunakan daring, diperbolehkan, namun apabila mediumnya cetak, jangan. Padahal, lanjutnya seharusnya hal ini tidak dibedakan.

Berdasarkan statistik; 91 persen wartawan mencari informasi di internet, sementara 7 dari 10 wartawan memonitor facebook dan twittewr, 95 persen memiliki akun facebook dan sedikit lebih rendah punya akun twitter.

Sementara Steve Christian dari Kapanlagi mengungkapkan bahwa AJI tidak mengakui pekerja Kapanlagi sebagai jurnalis karena isinya yang kebanyakan gosip. Padahal sudah terjadi lobi lobi agar gosip dimasukan oleh AJI sebagai berita berdasarkan perbandingan pembaca Vivanews.com 8 juta: Kompas.com 7 juta: Kapanlagi.com 5 juta pembaca.

Dalam sesi tanya jawab, peserta konferensi lalu bertanya pada Kapanlagi.com dimana tanggung jawab mereka sebagai media online? Karena sajian untuk publik yang sehat merupakan tanggung jawab media dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Apabila anda tertarik untuk membaca lebih jauh tentang hal ini isi blog salah satu wartawan memuat pengantar acara yang dikirimkan oleh AJI Indonesia, lalu ada dua ulasan mendalam yang dikirimkan oleh Adisti Daramutia dari Maverick serta Batam Pos, foto dari Aceh Voice, dan versi singkat untuk perangkat telpon genggam dari Tribun Lampung

Petisi-KSN-untuk-Luviana.jpg

Sementara itu tidak terkait dengan judul dan murni topik hari buruh, gambar disamping adalah kertas yang ditandatangani sebagai petisi dukungan kepada Luviana Jurnalis Metro TV yang di non jobkan oleh Manajemen Metro TV. Sebagai jurnalis, Luviana adalah salah satu tokoh sentral dari film dokumenter “Tidak Bermula dan Tidak Berakhir Dengan Berita” yang digagas oleh Ucu Agustin sebagai penerima hibah media Cipta Media Bersama. Petisi ini ditanda tangani di Semarang 20 Maret 2012 oleh Dewan Pimpinan Wilayah Konfederasi Serikat Nasional untuk Wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai bukti cinta dan dukungan mereka terhadap Luviana, sesama buruh.

Selamat Hari Buruh! Mari kita peringati hari buruh (untuk semua pekerja) sebagai titik balik untuk mengingat bahwa ada nilai kemanusiaan yang lebih tinggi dari sekedar modal dan laba.

Tags:

Cipta Media Bersama
01 May 2012