Bagaimana pers di Indonesia bekerja? Banyak tulisan mengenai hal ini di Indonesia, namun untuk masyarakat Indonesia belum ada film tentang media di negara ini. Media di Indonesia terlalu sibuk membuat liputan tentang hal yang lain dan lupa napak tilas apa yang terjadi pada media itu sendiri terlepas dari kepentingan lain.
Untuk mengingatkannya dibutuhkan cermin yang dapat membuat pekerja media ingat tentang kewajiban utamanya membela membela kepentingan publik dibandingkan keuntungan perusahaan atau pemilik stasiun berita karena frekuensi yang mereka gunakan adalah frekuensi publik yang merupakan sumberdaya terbatas.
Cermin yang sama berfungsi untuk menjadi masukan lembaga studi yang berkenaan meneliti mengenai pers & media dan para mahasiswa di universitas-universitas yang memiliki Jurusan Jurnalistik. Sebaiknya si cermin juga cukup sakti sehingga dapat memperlihatkan pada mereka kenyataan masa depan sebagai pekerja media dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana media bekerja. Sementara untuk masyarakat umum, cermin ini diharapkan menjadi perubahan sikap dari penerimaan mutlak penayangan-penayangan berita sehingga mereka menjadi lebih awas dalam memilih informasi yang mereka terima.
Menurut Ucu Agustin, pembuat film dokumenter Indonesia, cermin yang tepat untuk hal ini adalah film dokumenter yang kritis yang mampu memicu komentar-komentar yang kontsruktif dan umpan balik untuk memperbaiki kondisi media dan pers Indonesia di tanah air. Film dokumenter yang menggunakan gambar-gambar yang tak dimanipulasi akan mampu memberikan sudut pandang baru fakta-realita cara kerja pers di lapangan dalam melakukan peliputan.
Pers dan jurnalisme di Indonesia seolah dituntut untuk turut melebur dalam artian komunikasi yang lebih luas, korbannya, menurut Ucu, independensi yang kerap tergantikan oleh komersialisme, kepentingan pribadi/ golongan, dan kepentingan perusahaan. Banyak sekali kepentingan yang menyaru sebagai berita dan menghilangkan prinsip-prinsip yang harusnya melekat pada sebuah berita/jurnalisme. Film ini adalah sebuah usaha bersama memancing terciptanya situasi dimana harapan akan sebuah jurnalisme yang lebih baik di Indonesia dapat tercipta.
Pada 19 September 2011, Ucu memasukkan proposal dengan nomor urut 0629 dengan judul Tidak Bermula [dan Tidak Berakhir] dengan Berita untuk pembuatan feature dokumenter mengenai bagaimana pers Indonesia bekerja dalam melakukan pemberitaan. Proposal ini masuk dalam kategori Kebebasan dan Etika Bermedia dengan total permintaan dana sebesar 750 juta rupiah. Bagaimana biaya untuk pembuatan film dokumenter dihitung? Anda dapat melihat anggaran awal dan penggunaan biayanya untuk film dokumenter yang memakan waktu satu tahun dalam pembuatannya.
Pembuatan dokumenter Tidak Bermula [dan Tidak Berakhir] dengan Berita yang judulnya kemudian diganti menjadi “Di Balik Frekuensi” dipilih sebagai salah satu penerima hibah pada 8 November 2011. Upaya ini terpilih untuk didanai karena dianggap sebuah terobosan lewat kacamata independen bagi edukasi dan refleksi untuk masyarakat umum mengenai proses dalam liputan media arus utama di Indonesia. Proposal dan anggaran yang diajukan juga menunjukkan keselarasan antara masalah, solusi, dan rencana pelaksanaan teknis.
Apabila anda bertanya-tanya proposal apa yang ditulis sehingga hibah diberikan, maka anda dapat melihat langsung pada pranala proposal lengkapnya. Selang satu tahun pelaksanaan hibah proses pembuatan film dokumenter ini berdasarkan laporannya mengalami banyak rintangan dan butuh kerja keras.
Kru gambar bergerak menghabiskan 88 hari pengambilan gambar dan memilah milih lebih dari 330 jam footage sebagai hasilnya untuk diedit. Proses pembuatan film yang tidak mengenal jam kerja juga mengganggu kesehatan yang mengakibatkan line produsernya sakit, hal ini membuat Ucu berpikir tentang anggaran kesehatan untuk hal hal darurat dikemudian hari. Sumber daya manusia untuk melakukan transkrip pun dengan kisah sepanjang itu juga kurang, sehingga tim mulai berbagi tugas antar mereka.
Namun dari seluruh kesulitan tersebut mendapatkan kepercayaan dari karater karakter utama dalam film adalah yang paling sulit untuk dilakukan. Ini dapat dimengerti karena isu mengenai media di Indonesia merupakan hal sensitif, banyak wartawan tidak mau diwawancara karena takut, atau secara terbuka menyatakan bahwa produk beritanya adalah untuk atasannya, bukan untuk publik. Tulisan yang diturunkan oleh Portal KBR68H juga mengutip sutradara Ucu Agustin yang melihat masyarakat sebagai konsumen dirugikan akibat perilaku media yang menggunakan frekuensi untuk kepentingan politik dan menyerang musuh musuh pemilik media. Menurut Ucu masyarakat tidak bisa memilih karena kanal kanal untuk mencerdaskan bangsa justru yang dimanfaatkan oleh pemilik media.
Nah, tertarik untuk menyaksikan? Cuplikan dokumenter ini sudah dipublikasikan sejak awal Januari 2013. Film yang telah lulus sensor ini akan diputar untuk pertamakalinya untuk undangan terbatas pada 17 Januari 2013, dan langsung keliling ke 15 kota, 30 kampus, dan 5 negara di Asia Pasifik. Film ini juga merupakan film dokumenter Indonesia pertama yang menggunakan lisensi berbagi Creative Commons.
Untuk pertanyaan, masukan, serta kritik atas filmnya, atau apabila anda ingin mengetahui informasi pemutaran di kota anda silahkan ikuti twitter @dbalikfrekuensi, facebook, atau via situs webnya.
Selamat menyaksikan dan jangan lupa tuliskan kesan dan pesan anda setelah menyaksikan film ini.