Dibalik Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR)



dibalik-kenaikan-upah-minumum-regional-umr-400x306-54169e.jpg

Pada tahun 2014 Pemerintah DKI Jakarta menaikkan upah minimum provinsi yang sebelumnya sebesar Rp 2.200.000,- menjadi Rp 2.400.000,- Peraturan ini memang sudah diterapkan oleh pemilik usaha (perusahaan). Namun, dibalik kenaikan upah, perusahaan ternyata menghilangkan hak yang seharusnya diterima oleh buruh. Hal ini pun luput dari pemberitaan media arus utama. Berikut hak-hak yang dihilangkan sejak adanya kenaikan upah tersebut.

Tidak ada uang lembur

Sri Jumiati, buruh yang pernah bekerja di perusahan garmen Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung mengatakan bahwa dirinya tidak mendapat uang lembur sama sekali padahal sudah bekerja sampai malam. “Jam kerja itu pukul 07.30 – 15.30 dan saat jam pulang kami disuruh tanda tangan (menyatakan kalau sudah selesai bekerja), pada kenyataannya kami tidak boleh keluar dan harus bekerja lembur tanpa dibayar,” tegas Sri.

Uang makan dan cuti haid dihapuskan

Sebelumnya, ada makan siang untuk buruh. Jika tidak ada makan siang maka akan diganti dalam bentuk uang. Selain itu, buruh perempuan diberikan cuti haid selama dua hari tiap bulannya. Jika sehari mendapat upah Rp 80.000,- maka dalam sebulan ia akan mendapatkan uang Rp160.000,- sebagai pengganti cutinya. Semenjak upah dinaikkan, hak ini dihapuskan oleh perusahaan.

Pekerja tetap menjadi pekerja kontrak

Perusahaan melakukan pemutihan dengan cara membuat pekerja tetap menjadi pekerja kontrak. Bagi yang tidak bersedia akan ditawarkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan kompensasi sebesar 0,75 % dari PMTK (uang pesangon yang ditetapkan dalam peraturan menteri tenaga kerja).

Tags:

Hillun Vilayl Napis
10 Jan 2015


January 2015 | CC BY 4.0