Mengembalikan Kearifan Lokal melalui Teknologi Seluler



Terancam-Punah.jpg

Andi Rahmat Munawar dari Lembaga Swadaya Masyarakat Sempugi mengatakan bahwa generasi muda semakin tercerabut dari akar lokalitasnya. Nilai-nilai budaya mulai ditinggalkan seiring dengan perkembangan teknologi dan modernisasi. Hal ini akhirnya membuat mereka terasing dari budayanya sendiri. Di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat lagu tradisional kurang dikenal bahkan terancam punah. Selain itu, atraksi budaya, objek wisata dan pesan leluhur pun mulai dilupakan. Kondisi tersebut membuat ia tergerak untuk mengenalkan kembali kearifan lokal kepada generasi muda melalui teknologi seluler. Ingin tahu bagaimana caranya? Pak Andi akan menjawabnya.

T: Bagaimana mengenalkan budaya lokal melalui seluler?

J: Kami akan melakukan pendataan lagu, atraksi budaya dan objek wisata di 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat terlebih dahulu. Selanjutnya, lagu-lagu tradisional akan dibuat sebagai nada dering (ringtone) sedangkan objek wisata, atraksi budaya serta pesan leluhur dibuat dalam bentuk gambar (wallpaper). Semua akan dibagikan secara gratis kepada masyarakat.

T: Atraksi budaya dan pesan leluhur contohnya seperti apa?

J: Atraksi budaya itu kegiatan adat, seperti ritual maggiri, maccera tasi, sepak raga dan atraksi permainan api pepe pepe ri makka. Sementara itu, pesan leluhur adalah petuah-petuah bijak atau semboyan, seperti kuallangi tallanga na toalia yang mempunyai arti lebih baik tenggelam daripada mundur.

T: Lagu tradisional apa saja yang akan dijadikan nada dering?

J: Hanya lagu tradisional yang tidak diketahui nama pengarangnya (NN) karena lagu tersebut hampir tidak dikenal lagi. Nantinya lagu akan direkam dalam dua bentuk, yaitu menggunakan alat tradisional dan modern.

T: Siapa saja yang akan memproduksi nada dering dan gambar?

J: Staf di Sempugi. Selain itu, ada fotografer dan seniman lokal yang turut berpartisipasi melalui lomba. Masyarakat bisa mengunduh hasilnya di www.sempugi.org dan aplikasi di android.

Tags:

Hillun Vilayl Napis
18 Nov 2014


November 2014 | CC BY-SA 3.0