Merebut Perhatian Masyarakat



Screen-Shot-2015-07-13-at-1.17.44-PM-400x222-fc85a9.png

Dulu ketika seluruh penduduk Indonesia hanya menonton televisi pemerintah, apa yang ditayangkan di sana niscaya menjadi pusat perhatian pemirsa. Sekarang rata-rata orang mendapat berita dari tujuh saluran media, baik itu saluran televisi, surat kabar, atau situs berita di internet.

Perhatian masyarakat tidak lagi memusat ke satu medium, tetapi terserak-serak ke berbagai media, pada berbagai platform, di waktu yang berbeda-beda, dan pada hal yang sangat beragam.

Apakah ini lantas berarti tidak ada lagi kesamaan? Saya lihat televisi masih menjadi acuan utama masyarakat. “Berita” yang hangat di Twitter atau Facebook belum tentu tayang di televisi. Sebaliknya berita yang tayang di televisi nasional pada jam tayang utama dianggap sebagai masalah bangsa dan, akibatnya, Twitter dan Facebook riuh berisi pendapat tentangnya.

Ini tidak berarti bahwa perhatian masyarakat hanya bisa dihela oleh media massa. Media sosial juga bisa menjangkau orang banyak sekaligus dengan cara tular-menular antarteman. Para bintang di media sosial, yang memiliki puluhan ribu teman, mau menyebarkan pesan kita bila mereka peduli. Kepedulian yang sesungguhnya terlihat dari beberapa hal, yakni selaras, terlibat, dan berkelanjutan.

Keselarasan antara siapa orang yang menyebarkan pesan dengan apa isi pesan sangat penting di media sosial karena pengguna terbesar media sosial adalah orang, bukan perusahaan. Dalam pembicaraan antarorang, keyakinan pada siapa yang bicara berkaitan dengan keyakinan pada apa yang dikatakan. Kalau sejak awal si penyampai pesan peduli pada soal lingkungan hidup, maka ada keselarasan antara si pemilik akun media sosial dan pesan.

Di media sosial pengguna tidak hanya bicara, tetapi menjawab. Dan meyangkut pesan yang menimbulkan silang pendapat, orang harus memberi alasan, sanggahan, dan penjelasan. Menyebarkan pesan perubahan tidak sama dengan bujukan membeli. Si penyampai pesan harus terlibat benar dengan perubahan yang ia desakkan.

Terakhir, bicara perubahan tidak bisa sekali mencuit. Satu cuitan, atau sepuluh cuitan dalam sehari, langsung lenyap dihanyutkan aliran pesan media sosial. Penyampai pesan perlu bicara secara teratur dan awet, tanpa berubah menjadi orang yang menjemukan atau menjengkelkan. Ini tantangan.

Apabila anda peduli mengenai acara-acara di TV dan hal ini mengganggu anda, silahkan laporkan via Rapotivi.org. Gambar diatas adalah infografis pengaduan yang masuk via Rapotivi.

Tags:

Kurniawan
01 Apr 2015


April 2015 | CC BY 4.0