Jaringan Telepon Bergerak dan Badan Usahanya di Indonesia



Infografis-Jaringan-Telepon-Bergerak-dan-Badan-Usahanya-di-Indonesia.png

Seiring waktu berjalan dan berkembangnya teknologi telekomunikasi, badan usaha telekomunikasi di Indonesia tidak hanya terdiri dari operator telepon kabel, tapi juga seluler. Infografis di atas disusun untuk menginformasikan kepada publik tentang perkembangan jaringan telepon bergerak dan badan usahanya di Indonesia.

Mengenai dasar peraturan teknologi seluler penulis dapatkan dari berkas Peraturan Menteri Komunikasi (Permenkominfo) No. 1 Tahun 2010 di laman situs resmi Pos dan Telekomunikasi.

Penulis mengambil informasi tentang sejarah teknologi seluler dari situs usni.ac.id. Selain itu, penulis juga memperoleh data mengenai operator seluler dari Komudata, datacon, dan razmi.net.

Informasi tambahan mengenai seluk-beluk telepon satelit penulis da penulis dapatkan dari situs Jaist.ac.jp, gatra.com. Lalu informsi dan keterangna untuk telepon radio trunking penulis dapatkan dari berkas jurnal karya Kasmad Ariansyah.

Selama pembuatan infografik, penulis mendapatkan seluruh data/informasi dari laman situs. Harus diakui, informasi yang paling sulit dicari adalah rekam jejak mengenai teknologi trunking. Kapan, di mana, dan bagaimana teknologi ini berkembang di Indonesia sama sekali tidak ditemukan artikel atau dokumennya di situs internet. Selain itu, penjelasan mengenai teknologi ini tergolong lebih kompleks dibandingkan dengan teknologi seluler lainnya. Ditambah, operator yang bermain di sektor jaringan ini merupakan perusahaan kecil, maklum teknologi trunking tidak begitu populer karena penggunanya terbatas untuk pelanggan korporat.

Mengenai Teknologi Komunikasi Seluler di Indonesia

Indonesia memulai debut teknologi seluler pada tahun 1984 dengan teknologi analog atau generasi pertama (1G). Beberapa teknologi analog itu di antaranya adalah Nordic Mobile Telephone (NMT) dari Eropa, dan Advance Mobile Phone System (AMPS) dari Amerika. Berlanjut ke generasi ke-2 di mana teknologi seluler digital yang berkembang adalah Global System for Mobile (GSM) dari Eropa dan Code Division Multiple Access (CDMA) dari Amerika. Masuk ke 2015, teknologi seluler berkembang ke generasi ke-4 (4G) dengan teknologi Long Term Evloution (LTE) yang jaringannya menggunakan frekuensi GSM karena teknologi ini dikembangkan oleh organisasi pengembang GSM.

GSM adalah teknologi seluler digital yang diadaptasi pertama kali oleh Satelindo (sekarang Indosat Ooredoo) di tahun 1994. Jaringan ini memiliki kelebihan antara lain jaringan yang lebih luas (tidak perlu roaming atau “cek daerah/lokasi”) dan perangkatnya (ponsel) bervariasi dan cenderung lebih canggih dari CDMA atau telepon lain. Meski demikian, teknologi ini memiliki beberapa kelemahan di antaranya adalah mudah disadap dan sering terjadi panggilan putus.

Ketika GSM sudah merajai ranah seluler digital, di tahun 2003 muncul jaringan CDMA di Indonesia yang diadaptasi pertama kali oleh Telkom Flexi. Sebagai pesaing GSM, CDMA memiliki kelebihan di antaranya adalah sistem keamanan lebih baik dan biaya perangkat yang relatif murah, dan konsumsi batere yang lebih sedikit. Namun teknologi ini juga memiliki kekurangan di antaranya adalah perlu roaming dan menurut penulis hal ini merupakan kekurangan yang cukup signifikan karena pengguna seluler bisa saja merasa dibatasi.

Selain teknologi seluler digital, menurut Permenkominfo No. 1 Tahun 2010, Indonesia juga memiliki telepon seluler satelit dan radio trunking. Telepon satelit adalah telepon yang stasiun pemancar dan penerimanya langsung dari satelit. Dari segi teknologi jaringan, telepon satelit juga menggunakan seluler artinya sama saja dengan telepon seluler digital biasa. Satu-satunya hal yang membedakan adalah stasiun pemancar dan penerima sinyal seluler ini ada di langit, yaitu satelit itu sendiri. Berbeda dengan teknologi seluler digital atau trunking yang sinyalnya harus diterima dari stasiun pemancar di darat.

Kelebihan teknologi ini adalah daya jangkaunya yang sangat luas karena “BTS” satelit dapat mencakup ke luar area Indonesia (bisa se-Asia Pasifik), fisik perangkat yang kokoh, dan jaringan telepon lumayan kuat dan tidak mudah terpengaruh cuaca. Kendati demikian, resiko menggunakan telepon satelit di antaranya adalah ukuran telepon yang besar, biaya teleponi dasar yang mahal, perangkat yang tidak semutakhir CDMA maupun GSM, dan hanya dapat digunakan di luar ruangan.

Lalu ada pula teknologi radio trunking, yaitu telepon seluler yang menggunakan gelombang frekuensi radio secara bersama-sama. Sederhananya yakni teknologi telepon yang menggunakan frekuensi terbatas secara beramai-ramai (sharing talkgroup). Telepon seluler jenis ini cara penggunaanya mirip seperti walkie-talkie, atau telepon yang biasa digunakan oleh petugas tambang, polisi, petugas keamanan, militer, dan lain-lain. Hal ini karena rata-rata konsumen radio trunking adalah korporat atau institusi tertentu.

Kelebihan teknologi radio trunking di antaranya adalah jaringannya menggunakan frekuensi radio bukan seluler digital sehingga sangat cocok digunakan di daerah terpencil, privasi lebih terjaga karena sifat teknologi ini memiliki cakupan wilayah layanan tertentu alias eksklusif untuk anggota grup saja, lalu telepon ini sangat cocok untuk kalangan bisnis karena rata-rata jenis teleponnya tidak mendukung fitur hiburan layaknya ponsel pintar. Namun kekurangan telepon seluler trunking di antaranya yaitu frekuensinya mudah rentan terhadap cuaca dan infrastruktur yang cukup rumit untuk pemasangannya.

Prospek Telekomunikasi Seluler di Indonesia

Masing-masing teknologi seluler dan perangkatnya tentu memiliki kelebihan dan kekurangan juga memiliki fungsi dan tujuannya masing-masing. Hingga di tahun 2015, jaringan seluler yang masih mendominasi adalah GSM dan CDMA. Tapi, mayoritas pengguna jaringan seluler di tiap negara juga berbeda-beda. Teknologi CDMA sangat populer di Amerika, Inggris, Rusia, India, Jepang, dan Cina sedangkan GSM di Eropa, Indonesia, Korea, Australia, dan berbagai negara lainnya.

Popularitas, tren budaya, dan regulasi pemerintah juga turut mempengaruhi perkembangan teknologi komunikasi seluler. Sebagai contoh, pemerintah Eropa memberikan mandat (paksaan) kepada seluruh masyarakat Eropa untuk lebih menggunakan GSM dibanding CDMA, sehingga ponsel GSM lebih laris di negara ini. Di Indonesia pun demikian, pemerintah yang menaikkan harga operasional untuk operator CDMA menyebabkan perang harga antar CDMA dan GSM. Belum lagi, teknologi perangkat GSM yang kian mutakhir dan beraneka ragam, membuat masayarakat di Indonesia lebih jatuh hati ke GSM. Selain itu, teknologi GSM lebih ideal untuk telepon seluler karena sifatnya lebih fleksibel, bebas kemanapun tanpa harus roaming, dan memang telepon seluler harus bebas digunakan di mana saja.

Telepon satelit juga memiliki potensi yang kuat di pasar komunikasi seluler Indonesia. Sayangnya, bentuk ponsel satelit terkesan kuno dan berat, jelas mana ada masyarakat di zaman sekarang yang mau repot-repot menggunakan telepon seperti ini? Selain itu layanan teleponi dari jaringan ini sangat mahal, dan tidak tepat digunakan bagi konsumen yang hanya ingin sekedar berbagi kabar ke rekan yang jaraknya hanya beda kecamatan saja. Jadi, telepon seperti ini paling cocok untuk pelanggan yang tinggal di daerah terpencil, di luar negeri, atau berkebutuhan khusus karena biaya roaming-nya lebih murah dibanding telepon seluler biasa.

Layaknya telepon satelit, telepon berbasis radio trunking pun hanya bisa digunakan untuk keperluan khusus. Layanan untuk radio trunking juga tidak bisa dikonsumsi secara sembarangan dan terpisah, operator ini menerapkan sistem sewa, lengkap satu perangkat untuk perusahaan atau institusi yang memesan. Jadi ini bukanlah teknologi seluler yang bisa dikonsumsi untuk khalayak umum, hanya untuk lembaga tertentu dan tujuan khusus.

Dengan demikian, jika kita bandingkan dari keempat teknologi seluler yang diakui di Indonesia, sudah pasti teknologi GSM dan CDMA merajai pasar seluler. Kedua jaringan ini menurut penulis memiliki kekuatan setara dan sejak tahun 2000-an saling berkembang satu sama lain. Kedua teknologi ini digolongkan 2G, lalu bersama-sama berkembang menjadi 3G bahkan 3.75G. Namun sayangnya, di tahun 2015 CDMA terpaksa harus mengakhiri perjalanannya di pasar seluler Indonesia.

Mengapa? Menurut beberapa sumber, frekuensi yang dimiliki CDMA tidak akan digunakan untuk pengembangan teknologi seluler tingkat lanjut, yaitu 4G LTE. Jaringan GSM dipilih sebagai penopang teknologi LTE karena teknologi ini merupakan turunan dari GSM. Akhirnya CDMA terpaksa ditutup oleh pemerintah Indonesia. Bisa dipastikan mulai dari tahun 2016 hingga seterusnya teknologi seluler di Indonesia akan didominasi oleh 4G LTE yang basis jaringannya menggunakan GSM.

Lalu, bagaimana dengan operator CDMA di Indonesia? Semua operator CDMA yang masih bertahan di Indonesia (Smartfren, Esia, dan Ceria) telah bermigrasi frekuensi jaringan ke LTE, bahkan beberapa operator sudah tidak mau disebut sebagai operator CDMA atau pun GSM, yang ada hanyalah operator 4G LTE, untuk menghindari dikotomi teknologi seluler digital. Dan memang, baik GSM maupun CDMA berjalan di satu frekuensi yang sama untuk LTE, meskipun LTE sendiri berdiri di jaringan milik GSM.

Tags:

Reza Abdul Aziz
08 Jan 2016


January 2016 | CC BY 4.0