1140 - POTRET PEREMPUAN & PEREMPUAN MEMOTRET:Etnomedisin di Malut

Nama Inisiator

Nahary Latifah

Bidang Seni

audiovisual

Pengalaman

3 tahun

Contoh Karya

cover film sepintu sedulang.jpeg

Kategori Proyek

riset_kajian_kuratorial

Deskripsi Proyek

Seperti apakah mata perempuan native dari lingkungan akademik yang berbeda (ilmu kesehatan dan antropologi) memandang praktek pengobatan tradisional di lingkungan tempat tinggalnya? Bagaimana pula saya sebagai yang bukan native merekam hal serupa? Project ini berupaya menampilkan jagad pengetahuan etnomedisin wilayah kepulauan melalui beragam sudut pandang mata perempuan yang disajikan lewat photo-story. Sisi kepraktisan, fleksibel, daya jangkau serta memungkinkan untuk diteruskan photo-story menjadi pertimbangan digunakannya metode ini. Tema etnomedisin yang divisualisasikan juga berusaha memperlihatkan hal-hal terkait keberlangsungan sistem pengobatan masyarakat, misalnya masalah ekologi, live-history biang (dukun perempuan), serta proses pewarisan. 3 titik lokasi yang ditentukani itu, selain untuk melihat konteks permasalahan kesehatan di tiap tempat, juga untuk mengetahui ragam pengetahuan yang direpresentasi dari latar sejarah-tradisinya (Bajo yang kental dengan budaya lautnya, Tobelo dengan ekologi hutannya, dan Ternate berlatar kota/kerajaan). Dengan demikian, project ini memproyeksikan berlangsungnya dialog lintas budaya, lintas generasi, dan lintas keilmuan. Hasil yang disajikan dalam photo-story itu akan dilaunching dalam pameran dan diskusi sehingga terjadi proses silang pengetahuan serta adanya perspektif baru dalam menangkap isu-isu perempuan dan kesehatan di daerah. Geografi Maluku Utara dan keragaman identitasnya menjadi pintu masuk untuk melihat bagaimana ekologi pesisir yang memiliki keunikan varietas tanaman obat, variasi pengetahuan lokal, serta variasi persoalan di daerah kepulauan.

Latar Belakang Proyek

Saya menikah dengan laki-laki dari Maluku Utara. Melihat fasilitas kesehatan yang ada, mulanya saya khawatir bagaimana kalau saya harus melahirkan di sana. Saya akan pulang ke Jawa ketika hamil nanti. Namun, pandangan itu berubah ketika bertemu kawan-kawan Maluku Utara yang berkuliah di Jogja. Dalam suatu diskusi, mereka bercerita praktek persalinan ala biang. Mereka lahir dari tangan biang, tak terkecuali suami. Biang punya pengetahuan tentang perawatan ibu hamil hingga pasca melahirkan. Tidak hanya itu, masing-masing biang punya spesialisasi pengobatan tertentu. Mengapa mengandalkan biang, tidak pada pelayanan medis modern? Bukankah biang saat ini dianggap “biang” dari tingginya angka mortalitas ibu-anak? Cara pandang saya sebelumnya, barangkali merepresentasi cara “pusat” (Jawa) memandang “luar”, tanpa mengingat fakta geografis dan ragam pengetahuan lokal di sana. Dari diskusi tersebut kami baru sadar bahwa pengetahuan tentang rorano bisa dipakai untuk melihat banyak aspek, misalnya bagaimana biang perempuan memperlakukan tanaman agar lestari (kapan, bagian mana, dan cara mengambil tumbuhan yang berbeda dengan cara mengambil laki-laki), hingga mengapa tanaman mulai langka bahkan hilang. Ternyata, pengetahuan tentang tanaman rorano mengantar pada kesadaran perubahan ekologi yang terjadi di Maluku Utara. Beberapa menyesal tidak sempat mendokumentasikan pengetahuan biang di tempatnya karena biang tersebut meninggal, ditambah tidak sederhanya proses pewarisan pengetahuan tersebut.

Masalah yang Diangkat

Dalam rezim kesehatan saat ini, tak jarang muncul dikotomi pengertian “ilmiah - modern” versus “non-ilmiah - tradisional” terkait sistem pengobatan masyarakat. Pada konteks berikutnya, paradigm “iklan shampoo; tujuh dari sepuluh perempuan…” juga seringkali digunakan untuk menjustifikasi kasus semisal mortalitas bayi dan biang, lantas kita letakkan di mana realitas “tiga perempuan sisanya…” yang punya cerita sukses menyelematkan ibu dan bayi itu? Perspektif “dari atas” semacam itu selain mengabaikan kenyataan pinggiran dari sudut pandang orang biasa, juga menjadi problematis ketika pengetahuan ramuan obat-obatan tradisional kian terkikis sering masuknya arus pembangunan yang di satu sisi menghilangkan varietas tanaman obat khas kepulauan dan meminggirkan keberadaan orang-orang yang telah merawat dan melestarikannya. Mengapa etnomedisin? Tema ini cukup kompleks, memuat isu-isu penting berkaitan dengan posisi perempuan (realitas biang), ekologi, sistem pengetahuan (budaya), dan seterusnya. Lantas dengan cara apa hal itu bisa ditangkap dan dimaknai?

Indikator Sukses

Project ini dapat pula ditanggapi sebagai bentuk edukasi dan literasi media bagi perempuan untuk meningkatkan pengetahuan komunikasi visual dan cara pandang baru dalam menangkap dan memahami realitas di sekelilingnya. Tujuan dari project ini sendiri adalah untuk menampilkan ragam pengetahuan tentang sistem pengobatan dan perawatan kesehatan tradisional berbasis wilayah kepulauan. Indikator pencapaian project di antaranya adalah 1) munculnya karya foto dan cerita yang kemudian dibukukan; 2) Tersebarnya hasil project ini secara luas melalui publikasi website; 3) semua karya dan rekam proses dari project ini akan dipamerkan dan didiskusikan dalam forum bersama, antar komunitas dan keilmuan sehingga dari situ silang pengetahuan dapat terjadi; 4) dialog budaya melalui produksi karya ini, menjadi salah satu cara merawat dan melestarikan jejak pengetahuan (budaya) masyarakat kepulauan.

Dana yang Dibutuhkan

Rp.148 Juta

Durasi Proyek

7 bulan