236 - Sastra dan Skizofrenia Budaya

Nama Inisiator

Ayu Alfiah

Bidang Seni

sastra

Pengalaman

5 Tahun

Contoh Karya

1240492_10201025908744144_1233348268_n.jpg

Kategori Proyek

perjalanan

Deskripsi Proyek

Sastra dalam bentuk novel dengan tema “skizofrenia budaya” sudah lama ingin saya tulis. Terkendala biaya, sebab harus melakukan riset mendalam, saya mesti terlebih dahulu melakukan perjalanan ke delapan kota di Indonesia. Kota-kota itu yakni Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, Semarang, Palembang, Batam dan Bali. Pemilihan delapan kota tersebut yakni berdasarkan pertimbangan bahwa satu per satu kota merupakan wakil dari pulau masing-masing dan merupakan daftar kota paling atas berdasarkan kepadatan penduduknya. Setiap kota punya indikator yang berbeda, juga ragam budaya asli dan mengalami perubahan budaya yang berbeda pula. Selama satu bulan penuh di setiap kotanya, saya akan menetap dan meneliti bagaimana skizofrenia budaya dialami kaum muda. Artinya, saya akan hadir di ruang-ruang dialog anak muda seperti di kafe-kafe, perpustakaan, pasar, mall-mall, jalanan, kegiatan-kegiatan dan tempat-tempat budaya serta hal-hal lain yang menjadi bagian penting dalam proses pergeseran budaya. Saya akan mencatat gulir kehidupan yang terjadi dan bagaimana anak muda menghadapi kehidupannya dengan detail dan melalui proses analisis. Tugas saya tidak sekadar menuliskan kembali kenyataan dalam huruf dan angka. Saya merangkap peneliti, terjun langsung ke masyarakat. Semoga, saya juga bisa mendudukkan hakikat sastra yang sesungguhnya: melulu dekat dan terus hidup dalam benak masyarakatnya.

Latar Belakang Proyek

Bangsa Indonesia menghadapi skizofrenia budaya. Kaum mudanya gagap menerima teknologi dan modernitas. Alih-alih maju dan berkembang, kaum muda Indonesia justru oleng tak karuan. Skizofrenia budaya melahirkan banyak kengawuran: kekerasan agama, carut-marut perpolitikan, bahkan kehilangan arah persatuan. Dari delapan kota yang ditentukan, saya bisa mencatat bagaimana perbedaan, persamaan, pro-kontra dan hal-hal menarik lain yang akan dijadikan sebagai sumber tulisan. Kota-kota besar di Indonesia tentu punya sejarah dan situasi-kondisi masing-masing yang khas dalam menghadapi pembangunan. Perubahan yang terjadi tidak bisa diseragamkan dan tidak melulu berdampak pada pesatnya infrastruktur dan teknologi. Perubahan juga memengaruhi kebudayaan penduduknya. Sebagai bagian dari kaum muda, saya merasa harus menulis dalam bentuk novel segala hal yang dialami generasi muda untuk kemudian sampai pada satu kesadaran budaya. Terutama, kesadaran mengenai identitas diri yang utuh. Sastra mesti turut berperan dalam menjernihkan kembali persatuan Indonesia. Sastra harus bisa merekam landas-tumpu mengapa kaum muda sekarang lebih takjub kepada modernitas ketimbang kearifan lokal dari tanah kelahirannya sendiri. Saya rasa, keadaan inilah yang harus didedah dengan detail dan tajam. Selama ini, hanya klaim berupa kesimpulan ide yang senantiasa digembor-gembrokan. Belum ada penelitian akurat di lapangan yang sesungguhnya. Sastra, medium paling tepat untuk menuangkannya.

Masalah yang Diangkat

Masalah paling krusial bagi kemanusiaan ialah kehilangan identitas. Namun, kaum muda Indonesia tak punya kesadaran yang utuh atas apa yang terjadi. Mereka tak lagi bisa membedakan mana budaya asli dan budaya luar. Keduanya campur-aduk dilakoni dalam hidup. Kebiasaan dan sikap hidup pun sembarang dilaksanakan. Tidak perlu tendensi atau bahkan pandangan hidup tertentu untuk menjalani lakon dalam kehidupan. Budaya hidup yang kerap rakus dan hanya menginginkan keuntungan, membuat kaum muda tak lagi bersikap ajeg dalam hidupnya. Hidup hanya dengan dasar untung-rugi tanpa ada rasa berkorban pada diri, lingkungan, bahkan orang lain. Kita semua sedang mangalami skizofrenia budaya. Kesadaran yang dangkal dan absurd inilah yang mendorong saya untuk menuliskan seluk-beluk keputusan para kaum muda untuk lebih memilih terseret ke dalam modernitas, tetap bersikukuh pada kearifan lokal, atau justru bertahan di antara keduanya. Hal-hal detail yang perlu dicatat ialah (1) pola pikir, (2) bagaimana kaum muda menghadapi realitas dan (3) pemahaman akan masa lalu dan kesiapan kaum muda menyambut masa depan. Lebih tepatnya, menuliskan kesadaran manusia untuk memanusiakan dirinya sendiri.

Indikator Sukses

Novel sastra bertemakan skizofrenia budaya ini akan hadir di tengah masyarakat, mewakili kondisi psikologi suatu bangsa, bangsa Indonesia. Semangat kebudayaan suatu bangsa yang redup bisa disibak landas-tumpu keredamannya melalui novel sastra. Sehingga, khalayak luas pun tahu apa yang terjadi dan setidaknya, pelan-pelan, bisa menyembuhkan skizofrenia budaya yang selama ini diderita.

Dana yang Dibutuhkan

Rp.288 Juta

Durasi Proyek

9 bulan