420 - Di Dalam Rumah #3

Nama Inisiator

Luna Kharisma

Bidang Seni

seni_pertunjukan

Pengalaman

3 tahun

Contoh Karya

_T2A0007.JPG

Kategori Proyek

kerjasama_kolaborasi

Deskripsi Proyek

Di Dalam Rumah (DDR) #3 merupakan teks lanjutan yang merespon isu-isu perempuan pada KDRT di sendi kehidupan masyarakat. Karya sebelumnya, DDR #1, dipresentasikan sebagai karya hasil eksplorasi studio yang merespon isu kekerasan perempuan yang dimunculkan melalui tema pernikahan sebagai pintu gerbang penjajahan perempuan. Pertunjukan tersebut memanggil kembali ingatan audiens pada kehidupan masyarakat. Penonton digiring masuk pada acara pesta pernikahan, diringi musik dangdut hingga masuk adegan ranjang dan kekerasan seksual. Sedangkan DDR #2 mencoba kembali merespon subjek-subjek perempuan dalam KDRT, hanya saja dikaitkan dengan diskriminasi dan penyudutan oleh liyan, artinya isu ini tidak bisa dilepaskan dari peran media cetak, elektronik; reality show, bahwa sudut pandang mereka dalam merepresentasikan dan mengkonstruksi perempuan masih dalam posisi tertindas dan tersudut oleh kekuasaan (maskulinitas). Selanjutnya, pertunjukan DDR #3 dirancang sebagai upaya rekonsiliasi subjek pasca wacana KDRT yang berujung pada perceraian. Gagasan ini berangkat dari pengalaman personal melihat, mengamati, dan mengalami kekerasan simbolik dari masyarakat luas. Fokus DDR #3 adalah mengangkat daya hidup perempuan pasca perceraian, bagaimana seseorang mendapatkan kembali otoritas atas dirinya, eksistensi atas dirinya, setelah sekian lama terlukai seperangkat dominasi simbolik yang mengungkungnya.

Latar Belakang Proyek

Proyek ini dilatarbelakangi oleh pengalaman pengkarya sebagai subjek pasca perceraian. Sebagai seorang anak dari pelaku perceraian pasca KDRT, pengkarya mengalami, melihat, dan mengamati bagaimana korban-korban perceraian mendapatkan begitu banyak kekerasan simbolik dari masyarakat, seperti cibiran, hinaan, pelabelan negatif. Hasil riset yang dilakukan pengkarya menunjukkan bahwa telah begitu banyak korban yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, atau melangkah pada perbuatan-perbuatan negatif maupun kriminal sebagai pelampiasan atas kegagalan mengonstruksi ulang dirinya di masyarakat. Perempuan kembali berada dalam posisi subordinat, ia tidak diberikan kesempatan untuk menjadikan dirinya sebagai subjek utuh di masyarakat. Perempuan menjadi objek yang berlubang-lubang dan tidak bisa kembali "lengkap" pasca perceraian. Pelabelan perempuan sebagai korban membuat perempuan tidak dapat menjadi subjek bagi dirinya sendiri. Dari semua hal tersebut, pengkarya ingin mengambil daya hidup perempuan sebagai salah satu fase pasca perceraian, di mana perempuan terus-menerus berusaha untuk mendapatkan kembali otoritas dirinya di masyarakat. Mengambil sisi daya hidup adalah salah satu upaya untuk menjadikan perempuan sebagai subjek, bukan lagi objek yang terepresi oleh liyan. Pertunjukan ini juga berupaya untuk menawarkan sudut pandang bahwa perceraian tidak melulu dipandang sebagai kegagalan, namun merupakan sebuah keberhasilan perempuan untuk keluar dari penderitaan KDRT yang menimpa dalam kehidupan pernikahan.

Masalah yang Diangkat

Gagasan ini berangkat dari pengalaman personal melihat, mengamati dan mengalami kekerasan simbolik dari masyarakat luas, misalnya upaya-upaya pencibiran, penghinaan, perendahan, dan bahkan pengasingan. Fenomena KDRT yang berujung pada perceraian akhirnya menjadi peristiwa berantai di mana subjek perceraian mengalami frustasi berkepanjangan, ketidakpercayaan diri sebagai manusia, dan merasa kesakitan sehingga dampak lebih besarnya mereka menjadi PSK, TKI, gila, dan bahkan bunuh diri. Anakpun akhirnya juga mendapat perlakuan diskriminatif di masyarakat, di sekolah, di pergaulannya, orang tua teman-temannya oleh karena dianggap kegagalan keluarga. Sementara pihak laki-laki cenderung diterima secara lebih luwes. Maka, perempuan perlu mengonstruksi dirinya untuk kembali menjadi subjek yang utuh di masyarakat, perempuan harus mendapatkan eksistensinya kembali di mata lingkungannya. Hal ini dapat dicapai tentunya dengan menaruh optimisme sebagai garda depan pembuatan karya ini, bahwa perempuan mempunyai daya hidup hingga dapat melakukan proses penyembuhan bagi dirinya sendiri pasca perceraian yang dialaminya.

Indikator Sukses

Pertunjukan ini dikatakan berhasil apabila dapat dijalankan sesuai target yang telah dibuat, di antaranya adalah berjalan sesuai dengan rentang waktu proses dan tidak melebihi budget yang telah dianggarkan. Selain itu, karya ini sukses apabila dapat menuai berbagai respon, diperbincangkan ulang, hingga akhirnya memberi impuls untuk melahirkan wacana baru mengenai daya hidup perempuan. Hal tersebut penting, karena pembuatan karya dan penggalian wacana terhadap kekerasan atau diskriminasi perempuan akan terus-menerus digali oleh pengkarya meskipun karya ini telah digelar.

Dana yang Dibutuhkan

Rp.60 Juta

Durasi Proyek

6 bulan