926 - Desa-desa yang Dibinasakan

Nama Inisiator

Pitra Ayu Listyani

Bidang Seni

penelitian

Pengalaman

10 tahun

Contoh Karya

Kategori Proyek

riset_kajian_kuratorial

Deskripsi Proyek

Rencana pembangunan bandara NYIA di Kulon Progo hingga kini masih menghadirkan kekecewaan mendalam di tengah warga terdampak. Luas lahan yang diajukan untuk izin lingkungan, yakni 637 hektar, meliputi lima desa: Glagah, Kebonrejo, Sindutan, Palihan, dan Jangkaran. Berangsur-angsur 11 ribuan jiwa yang 90 persennya lahir di lima desa tersebut tercerai-berai. 8,400 jiwa yang menolak sejak sosialisasi rencana pembangunan di tahun 2012 bukannya tak bergejolak. Tak lama setelah sosialisasi, mereka membentuk kelompok yang hampir seluruhnya petani, namun lebih dari kelompok tani demi kesejahteraan mengolah tanah berpasir. Akhir 2017 adalah puncak masa kelam para petani yang kemudian membentuk organisasi baru setelah ketuanya menyerah kalah. 86 keluarga, tua, muda, anak-anak, perempuan, dan laki-laki, sekarang hidup bahu-membahu dalam suasana gelap gulita dan ruang gerak yang senantiasa dipersempit. Film dokumenter yang ingin saya selesaikan ini dimulai di krisis kesekian, yang betul-betul merenggut martabat manusia. Rekaman dibuat karena senjata saya hanya kamera dan kata-kata. Film dokumenter ini harus jadi, karena saya berhutang pada mereka. Mulai dari desa yang hilang, sampai ungkapan tak berdaya, karena tak ingin memecah-belah keluarga. Film ini tidak netral karena ribuan jiwa telah teraniaya. Mungkin film ini tidak mampu bicara untuk semua yang tertindas, namun saya tahu 300an jiwa yang terluka, masih membutuhkannya.

Latar Belakang Proyek

Saya melalui proses perkenalan dengan warga penolak yang hidup di empat desa di Kulon Progo, karena konon warga Desa Kebonrejo seluruhnya setuju menjual lahan pada Angkasa Pura I. Sehingga meskipun saya bersama mereka saat proses hukum yang sangat melelahkan, dinamika tersebut belum memanggil saya untuk segera mengambil alat rekam. Masa-masa pengajuan gugatan warga ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena Izin Penetapan Lokasi diresmikan sebelum ada kajian dampak lingkungan, terrekam karena ada beberapa teman yang intens dengan kameranya. Sejak itulah saya mulai menggunakan kamera untuk merekam setelah ada percakapan yang menggugah keingintahuan, meskipun saya belum tahu betul arah pemanfaatan rekaman tersebut. September 2017, saya mulai bisa menata gagasan, ketika berulang-ulang warga gelisah dengan eksodus para tetangga dan saudara mereka dari desa. Dua kepala dukuh dari dua desa yang gigih mempertahankan penolakan atas proyek bandara menjadi narasumber saya. Selain mereka, saya juga mendatangi warga yang sudah pindah ke permukiman relokasi. Sekitar 300an warga menceritakan kesan mereka di rumah baru di atas tanah-tanah kas desa yang baru diurug. Banyak kekhawatiran mereka sampaikan, Bapak-bapak gelisah dengan kelanjutan penghidupan mereka, sedangkan Ibu-ibu yang kebanyakan tidak ikut mengambil keputusan untuk menerima atau menolak bandara, cemas karena mereka tak mungkin diperkerjakan.

Masalah yang Diangkat

Pertanyaan besar saya terletak pada standard yang menentukan arah pembangunan daerah dan ujungnya negara. Sampai hari ini saya belum pernah mengetahui apalagi menyaksikan bagaimana proyek infrastruktur, khususnya untuk pariwisata, bebas dari eksploitasi alam dan manusia di dalamnya. Salah satu hal yang disederhanakan dalam pembangunan bandara NYIA adalah praktik pembinasaan ruang hidup, yang meliputi pembujukan hingga intimidasi untuk menjual lahan pada pemrakarsa proyek, sampai ke penghancuran rumah-rumah tinggal dan sarana pendukungnya seperti listrik dan akses jalan umum. Tentu saja saya ingin membantu penyelesaian krisis kehidupan tersebut, mulai dari membangun pembangkit listrik mandiri tanpa BBM hingga turut menghidupkan pertanian kolektif warga. Keinginan ini mungkin saya tuangkan agar bisa membuat rekamannya juga. Namun jika tidak memungkinkan secara anggaran, yang penting saya bisa berbagi pada warga untuk membicarakan apa langkah selanjutnya, setelah ruang hidup mereka secara fisik dan moral dibinasakan. Saya melihat masalah akibat ketercerabutan warga dari komponen ruang hidupnya terdahulu, sebagai catatan buruk yang tidak layak diulangi siapapun dalam sistem negara, dalam hal ini Indonesia.

Indikator Sukses

Film selesai dan layak putar di ruang-ruang keluarga, kampung, dan desa. Di tahap awal saya pasti harus menjajakannya keliling, namun harapan saya kemudian warga terpikir untuk meminta pemutaran. Kesuksesan juga bisa saya ukur jika para ibu dan nenek yang seringkali ditampilkan saat menangis di video-video seruan solidaritas, hadir dalam film sebagai sosok yang menguatkan pilar keluarga dan lingkungannya, karena begitulah sosok yang saya temui sehari-hari.

Dana yang Dibutuhkan

Rp.525 Juta

Durasi Proyek

9 bulan