952 - Komedi sebagai remedi: kekerasan dan penyembuhan trauma

Nama Inisiator

Febby Risti Widjayanto

Bidang Seni

penelitian

Pengalaman

1,5 tahun

Contoh Karya

Kategori Proyek

riset_kajian_kuratorial

Deskripsi Proyek

Dalam proyek ini, saya bermaksud untuk meneliti efek komedi dalam seni teater dan hubungannya dengan penyembuhan trauma yang dialami perempuan-perempuan korban kekerasan, baik fisik dan verbal. Sebagaimana dalam banyak kajian literatur yang menyebut komedi memiliki fungsi untuk mengatasi stres sehari-hari (stress coping), saya tertarik untuk mencermati sejauh mana komedi dapat diaplikasikan untuk mengatasi pemutaran ulang memori pahit akibat kekerasan yang bisa datang kapan saja. Konteks yang diambil adalah seni teater karena model ini menyediakan sarana alternatif untuk pembelajaran nilai-nilai, refleksi, pembebasan, dan proses dialogis dengan diri sendiri bagi para korban. Kekerasan terhadap perempuan sudah di tingkat yang mengkhawatirkan. 1 dari 3 perempuan Indonesia mengalami kekerasan setiap harinya. Penelitian ini akan fokus pada remaja (usia 13-17 tahun) yang berada dalam proses paling krusial dalam perkembangan psikisnya. Salah satu SMA/SMK yang mempunyai seni ekstrakurikuler akan dipilih sebagai lokasi studi. Penelitian akan dilakukan dengan desain studi kasus dan memanfaatkan instrumen wawancara mendalam sehingga keterbukaan dan kenyamanan pengungkapan pengalaman akan lebih mudah dilakukan oleh para informan. Etika penelitian tetap akan dijunjung dengan memperhatikan privasi informan dan mendiskusikan tujuan penelitian dengan jelas kepada informan dan pihak-pihak yang terkait.

Latar Belakang Proyek

Saya tertarik untuk melihat bagaimana pendekatan seni budaya dapat dimanfaatkan untuk mengatasi trauma kekerasan pada perempuan ketika pendekatan-pendekatan legal-formal masih belum bisa menuntaskan penderitaan yang dialami korban. Dalam konsep seorang ahli psikoanalisis, Sigmund Freud - salah satunya menjelaskan jika gangguan-gangguan psikis saat dewasa, misalnya kesulitan dalam hal komunikasi, sosialisasi, maupun kurangnya rasa percaya diri - adalah perwujudan dari tidak sempurnanya metamorfosis peralihan mental dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Logika ini dapat menjelaskan apa yang terjadi pada perempuan-perempuan yang dalam usia dewasa mengalami krisis identitas, kepercayaan diri, cognitive dissonance, nilai, maupun orientasi hidup. Kerusakan psikis yang diakibatkan oleh kekerasan pada masa kanak-kanak menyebabkan gangguan yang besar pada kedewasaan emosional, intelektual, dan sosial seseorang. Seorang anak perempuan yang dilecehkan pada masa kanak-kanaknya, cenderung tumbuh sebagai pribadi yang tidak percaya diri, merasa bersalah dan tidak berguna saat menginjak masa remaja. Hal inilah yang luput kita sadari bahwa pembentukan kepribadian yang demikian adalah akibat dari bercokolnya sistem budaya patriarkis serta kegagalan kolektif masyarakat dalam melihat kausalitas antara luka psikis masa lalu dengan gangguan mental. Permasalahan budaya tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan prosedur-prosedur legal-formal, tetapi budaya adalah unsur yang harus diintegrasikan.

Masalah yang Diangkat

Kekerasan terhadap perempuan dipandang sebagai sebuah praktik berantai yang belum menemukan titik hentinya. Pertama, undang-undang masih dirundung kebuntuan karena RUU kekerasan terhadap perempuan belum juga disahkan. Semakin lama jaminan hukum tidak menemui titik terang, maka selama itu pula korban-korban kekerasan kian bertambah setiap harinya. Penanganan hukum sebelumnya juga menuai kritik tajam, misalnya, jangankan upaya-upaya untuk memperhatikan psikis korban, sebagian besar kasus pemerkosaan saja tidak berhasil menjerat pelakunya. Kedua, pembiaran pada penyembuhan krisis korban tidak ditangani secara terstruktur dan terorganisir oleh negara, melainkan hanya diserahkan pada organisasi-organisasi sipil kemasyarakatan atau NGO. Keteledoran ini membuktikan bahwa negara tidak berkomitmen penuh dalam menindak dan mencegah terjadinya kekerasan pada perempuan. Ada harga kerusakan mental, dari generasi ke generasi, yang tidak diperhatikaan secara serius oleh negara. Ketiga, kerusakan psikis itu memiliki multiplier effect dalam berbagai bidang. Misalnya, reproduksi kekerasan, berkembangnya pemahaman yang salah tentang pelecehan, dan digerusnya anak-anak muda yang seharunya punya masa depan gemilang. Biaya sosial ini semakin meninggi dan pada akhirnya akan mengancam kesejahteraan individu. Keempat, tantangan semakin kompleks ketika kekerasan dimediasi oleh teknologi (tech-mediated violence). Jika tidak ada tindakan yang secara khusus menangani kerusakan psikis ini, rantai kekerasan akan menjalar semakin liar dan tidak terkendali.

Indikator Sukses

Ukuran keberhasilan dari proyek ini, di samping menelurkan temuan ilmiah tentang komedi dalam seni teater dan penyembuhan trauma , ialah semakin banyak anak-anak remaja yang terlibat dalam kegiatan positif, salah satunya adalah teater. Teater memberikan wadah bagi remaja untuk menggali potensinya, menunjukkan bakatnya, melampiaskan uneg-uneg dalam karya dan mendapat apresiasi dari kerja kerasnya. Bahwa tiap remaja adalah tunas bangsa, yang dengan segala kondisi kekerasan yang dilaluinya, berhak meraih masa depan mereka. Kasus-kasus belakangan yang membuat kita miris, seperti penganiayaan, perundungan oleh remaja ke sesama temannya, serta narkoba, menjadi bukti yang cukup bahwa kita harus bertindak lebih melalui budaya. Penyembuhan perlahan yang bernuansa kultural memiliki keampuhan dalam menafsirkan kembali rantai kekerasan seperti bullying, pelecehan, penganiayaan untuk ditransformasikan menjadi ruang berkarya. Bahwa kekerasan yang bukan kesalahan korban adalah suatu pengalaman yang harus direnungkan, diambil pelajaran, serta diubah menjadi gerakan-gerakan untuk menghentikan kekerasan segera. Riset ini juga memiliki misi untuk mengajak masyarakat luas memikul tanggung jawab untuk mengarahkan dan membimbing remaja untuk menemukan jalan untuk berkarya di tengah keterbatasan, stigma, dan trauma berkepanjangan yang mereka dapatkan dari kejadian kekerasan. Indikator lain adalah semakin banyaknya sekolah yang mengembangkan ekstrakurikuler teater atau sejenis, serta memaksimalkan fungsi konseling di sekolah.

Dana yang Dibutuhkan

Rp.125 Juta

Durasi Proyek

9 bulan