980 - Kisah Para Perempuan Penenun di Donggala dan Palu

Nama Inisiator

Nurlaela AK Lamasitudju

Bidang Seni

penelitian

Pengalaman

10 tahun

Contoh Karya

Berkarya, Berdaya - Nurlaela Lamasitudju.pdf

Kategori Proyek

riset_kajian_kuratorial

Deskripsi Proyek

Proyek ini akan menggarap penelitian dan pembuatan film dokumenter tentang kiprah dan perjuangan para perempuan penenun di Donggala dan Palu, khususnya yang ada di Desa Wani, Desa Labuan Panimba, dan Dusun Limoyo, yang sampai saat ini tetap bertahan menekuni tenun Donggala. Sejarah lokal tenun Donggala di ketiga tempat itu, bagaimana perkembangannya, serta berbagai ragam motifnya akan menjadi bagian yang turut diungkap dan digali di dalam penelitian dan pembuatan film dokumenter ini. Rangkaian akhir dari proyek ini adalah penyelenggaraan pameran bersama yang akan memamerkan berbagai kain tenun Donggala yang dihasilkan oleh para perempuan penenun yang menjadi subjek penelitian; dan sekaligus akan mengajak sejumlah "kolektor" tenun Donggala untuk turut memamerkan koleksi yang mereka miliki. Hasil penelitian dan film dokumenter pun akan turut diluncurkan dan didiskusikan dalam rangkaian acara pameran bersama tersebut.

Latar Belakang Proyek

Proyek ini bertolak dari aktivitas saya di Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Sulteng yang melakukan kerja pendampingan terhadap korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966. Dampingan di Palu dan Donggala di antaranya adalah para perempuan penenun yang sampai saat ini masih terus menekuni tenun Donggala. Kehidupan para perempuan penenun tidaklah secantik sebagaimana kain tenun yang dibuat. Mereka terbelit dengan berbagai kerentanan. Perempuan penenun dari keluarga korban Peristiwa 1965/1966, memiliki sejumlah kisah terkait dengan aktivitas menenun di tengah stigma dan diskriminasi. Pada konteks perempuan penenun lain, mereka pun tidak bisa leluasa berkarya, di antaranya, karena bahan baku yang sulit didapat. Sebagian besar kemudian menjadi "buruh tenun". Mereka yang berkemampuan merancang dan mengikat motif (untuk tenun ikat bomba), kini sudah langka. Berbagai ragam motif klasik pun mulai menghilang, sejumlah di antaranya bahkan sudah tidak lagi dikenal. Sayangnya, tidak banyak pula catatan dan dokumentasi yang terkait dengan ragam motif klasik tersebut. Ragam motif pada tenun, umumnya akan terkait dengan konteks sosio-budaya dan sejarah sebuah masyarakat. Hilangnya berbagai ragam motif tenun adalah hilangnya pula berbagai catatan (ke)budaya(an) dan sejarah masyarakatnya. Karena dalam aktivitas menenun hampir seluruh prosesnya ditekuni oleh perempuan, sebagian dari yang hilang itu adalah kisah-kisah para perempuan.

Masalah yang Diangkat

Di tengah daya juang para perempuan penenun itu untuk terus berkarya, ketika kain tenun Donggala dieluk-elukkan sebagai sesuatu yang khas, istimewa, dan menjadi salah satu "produk unggulan" daerah, para perempuan penenun itu justru adalah kelompok yang seakan "dilupakan". Ketika selembar kain tenun sudah jadi dan dipasarkan, seakan sudah putus begitu saja antara kain tenun dan penenunnya. Padahal, ada begitu banyak kisah yang tersimpan di balik selembar kain tenun: mulai dari proses pembuatan sampai dengan hasil produk siap pakainya. Berbagai kisah yang tersimpan di selembar kain tenun itu sejatinya akan bisa sekaligus menunjukkan bagaimana kiprah dan kekuatan perempuan, baik yang bersifat personal-individual maupun yang kemudian memberi pengaruh terhadap konteks sosio-budaya dan sejarah sebuah komunitas/masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.

Indikator Sukses

1. Hasil penelitian dan film dokumenter akan bisa menjadi referensi, sekurang-kurangnya bagi warga Kota Palu dan Donggala, terkait dengan sejarah lokal tenun Donggala beserta kisah dan kiprah para perempuan penenun yang menggeluti dan menekuninya. 2. Hasil penelitian dan film dokumenter akan bisa dijadikan sebagai alat/bahan advokasi agar para perempuan penenun tersebut bisa lebih meningkatkan dan mengembangkan potensi dan kekuatan yang mereka miliki. 3. Mulai ada penghargaan bahwa di balik selembar kain tenun ada penenun dan kisahnya; bahwa kain tenun tak sekadar produk fungsional, namun juga adalah sebuah karya.

Dana yang Dibutuhkan

Rp.220 Juta

Durasi Proyek

9 bulan