Intan Paramaditha: Lahirnya Perempuan Perempuan Tajam



intan paramaditha

Banyak orang takut saat mendengar istilah, “gentayangan”, tapi tidak demikian halnya dengan Intan. Selama dua belas tahun ia banyak berpindah-pindah negara dan bergentayangan. Hasilnya, tahun 2017 ia menelurkan karyanya, Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu, yang disusun selama sembilan tahun. Hobinya menulis fiksi dimulai sejak ia berumur 9 tahun. Saat duduk di kelas 6 SD ia mulai mengirimkan karyanya ke Majalah Bobo. Tulisannya kala itu banyak terpengaruh oleh dongeng anak-anak hingga cerita detektif Agatha Christie. Beranjak dewasa, berdasarkan pengalamannya mengunjungi dan tinggal di beberapa negara, Intan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar cara pandang mengenai negara, bangsa, rumah, dan perjalanan dalam konteks lokal dan global. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dituangkan dalam novel terbarunya, Gentayangan.

Menjadi penulis untuk Intan adalah pilihan, di mana gagasan dan pertanyaan dapat ia tuangkan secara nyaman melalui fiksi menggunakan bahasa Indonesia. Namun pilihannya untuk menjadi akademisi dipengaruhi oleh pembimbingnya dahulu, Prof. Melani Budianta. Semasa kuliah Sastra Inggris di Universitas Indonesia, Intan mengagumi Melani Budianta sebagai akademisi sekaligus aktivis dan feminis. Kritik tegas Melani terhadap kondisi gender, perempuan di Indonesia, dan hubungan etnis minoritas Tionghoa kerap terlontar dan mempengaruhi cara pandang Intan mengenai hal-hal tersebut. “Kalau menjadi akademisi berarti memiliki sikap politik yang tegas dan menginsiprasi seperti Ibu Melani, maka saya mau menjadi akademisi.”

Selain Melani Budianta, banyak penulis perempuan menginspirasi Intan, seperti Toeti Heraty, Mary Shelley dengan karyanya, Frankenstein, hingga karya-karya Margaret Atwood. Novel Atwood, The Handmaid’s Tale, misalnya, bercerita mengenai kondisi darurat dikarenakan turunnya jumlah kelahiran bayi, sebagai akibatnya perempuan dideklarasikan oleh pemerintah hanya memiliki tiga posisi alternatif di masyarakat.

Perempuan dianggap punya masa kadaluarsa. Pada umur tertentu, dia dianggap harus meletakkan keluarganya sebagai prioritas; Saat perempuan ingin punya aspirasi sendiri, ia dihujani rasa bersalah

Berbicara mengenai tekanan sosial, Intan mengemukakan bahwa sebagai seniman tekanan seringkali datang dari orang yang paling dekat. “Perempuan dianggap punya masa kadaluarsa. Pada umur tertentu, dia dianggap harus meletakkan keluarganya sebagai prioritas; dan tekanan ini kerap datang dari suami, ibu mertua, keluarga sendiri. Saat perempuan ingin punya aspirasi sendiri, ia dihujani rasa bersalah karena dianggap sebagai perempuan egois yang ingin mengejar karir atau tidak memprioritaskan suami dan anak-anak,” ia menjelaskan. Intan melihat kini masyarakat Indonesia semakin konservatif, dan ia cukup prihatin dengan adanya kampanye nikah muda. “Perempuan semakin didorong untuk secepatnya berumah tangga melupakan aspirasi,” paparnya. “Belum lagi ketiadaan sistem dukungan bagi perempuan untuk berkarya. Untuk berkarya, seorang kreator membutuhkan teman ngobrol, bertukar pikiran, dan berdialog secara kritis mengenai karya. Artinya, sistem pendukung itu sebenarnya tidak hanya dalam bentuk keluarga, namun juga rekan berpikir yang mengkritisi dan mengajukan tantangan untuk ide-ide yang digagas. Hal ini bukan sesuatu yang mudah didapat buat banyak seniman perempuan, terutama apabila ia telah menikah dan tidak aktif lagi di lingkungan keseniannya. Ketiadaan lingkungan produktif menjadi hambatan bagi perempuan dalam membuat karya-karya yang tajam.”

Intan membayangkan kondisi yang memungkinkan perempuan Indonesia memperoleh akses dan fasilitas dalam penjelajahannya di ranah intelektual dan kreatif. Selain itu, Intan menganggap penting bagi seniman perempuan meletakkan dirinya dalam jaringan untuk berdiskusi, berafiliasi, dan mencari rekan-rekan baru dalam berkarya. Ia mencontohkan kasus aktor yang ingin membuat monolog. Menurut Intan, si aktor sebaiknya punya teman perempuan dengan perspektif feminis yang bisa diajak bertukar pikiran agar karyanya lebih tajam. “Kritikus itu perlu untuk karya. Yang diajak ngobrol tidak harus sesama seniman perempuan, bisa akademisi, aktivis, untuk memberikan perspektif kaya dalam penciptaan karya.”

Apabila tokoh-tokoh yang diseniorkan kebanyakan laki-laki, junior perempuan bisa jadi dirugikan karena bias gender dan hubungan relasi kuasa yang tidak seimbang

Intan melihat bahwa dunia kesenian selama ini sangat didominasi oleh laki-laki, sehingga karya-karya yang muncul, walaupun melibatkan perempuan sering kali tidak menyuarakan pengalaman perempuan. “Setidaknya sampai akhir 90-an, parameter sastra dan wacana yang diputar sangat dipengaruhi laki-laki. Meski sekarang banyak penulis perempuan, dominasi ini masih terasa. Di teater, sutradara dan penulis naskah perempuan juga sedikit, sehingga budaya paternalistik di ranah ini terus berlangsung,” katanya. Ia menjelaskan bahwa regenerasi dalam kelompok kesenian kerap melanggengkan relasi kuasa. Dalam suatu kelompok, seniman senior menjadi tempat belajar dan membaptis generasi berikutnya. Apabila tokoh-tokoh yang diseniorkan kebanyakan laki-laki, junior perempuan bisa jadi dirugikan karena bias gender dan hubungan relasi kuasa yang tidak seimbang.

Seniman sebaiknya bukan berkarya demi karya, namun juga mempertanyakan: mengapa kita berada dalam sistem seperti ini? Apa norma sosial yang membentuk dan membatasi kita?

Selama ini Intan dan beberapa teman telah mengupayakan jaringan dalam dunia kesenian Indonesia, termasuk forum-forum pertemuan. Salah satu contohnya forum “Gender dan Seksualitas” yang berawal dari Simposium Pertunjukan di Indonesia (SPIN) pada tahun 2009. Setelah forum selesai, kerja berlanjut dan orang-orang yang yang terlibat bertemu secara ad hoc. “Kami datang dari bermacam macam latar belakang, ada para seniman dan aktivis feminis seperti Olin Monteiro dan Naomi Srikandi, ada pula teman-teman dari Q! Film Festival,” ujarnya. Namun Intan menyayangkan bahwa inisiatif-inisiatif bertemu bersifat sporadis dan tidak konsisten, sehingga mempertahankan jaringan menjadi sesuatu yang solid dan berkelanjutan merupakan tantangan bagi orang-orang yang mengupayakannya. Seniman ideal untuk Intan adalah yang mempertanyakan kondisi. Menurut Intan, pertanyaan itu barangkali belum memiliki jawaban atau solusi, namun hadirnya pertanyaan itu sendiri merupakan intervensi. “Seniman sebaiknya bukan berkarya demi karya, namun juga mempertanyakan: mengapa kita berada dalam sistem seperti ini? Apa norma sosial yang membentuk dan membatasi kita? Kemudian tindak lanjut dari pertanyaan tersebut yaitu proses mencari jawaban,” ujarnya.

Seniman perempuan menjadi bagian yang penting dalam masyarakat dengan bertanya dan terus bertanya; ia diharapkan melahirkan karya sebagai intervensi terhadap gagasan-gagasan normatif. Intan kembali mengambil contoh kampanye nikah muda yang harus diintervensi oleh seniman perempuan, “Kita harus gelisah dan bertanya mengapa kampanye-kampanye seperti itu muncul. Seniman perempuan sebaiknya tidak berhenti ‘bahagia’ menjadi seniman dan selesai di sana, Ia harus menggugat sesuatu. Seniman yang mampu untuk mengajak masyarakat berpikir bersama adalah potensi. Jadi karyanya tidak ‘egois’. Misalnya, seseorang depresi karena putus dengan pacar. Itu tentu pengalaman juga. Tapi pertanyaan lebih lanjut adalah: dari sekian banyak pengalaman mengapa harus pengalaman itu yang kita dengar dan dijadikan karya?”

Menurut Intan, harus ada refleksi kritis atas pengalaman. Bahkan saat menggali pengalaman personal, seorang kreator perlu menggali hubungan antara pengalaman itu dalam konteks politik yang lebih luas.

Sumber: Intan Paramaditha. Wawancara oleh Hillun Villay Napis via Skype, Jakarta-Sydney, 4 November 2017. Disunting oleh Siska Doviana.

Tags: