Beranda > Penerima Hibah CMB > Next Generation > Next Generation - Proposal Lengkap

Next Generation - Proposal Lengkap

250px-Next_Generation.jpg

Next Generation - Media Watch & Literacy

Organisasi

Next Generation—Media Watch & Literacy (Next G). Mulanya gemas sekaligus khawatir melihat anak-anak berjubel di game center,beberapa bahkan rela begadang. Next G lahir dari kekhawatiran, video game addiction tak jauh beda dengan ganja. Ada yang perlu diperbaiki, regulator? Pastilah sudah ada aturan yang memastikan distribusi dan penggunaan video game. Lagipula, tiap developer video game telah melabeli produk mereka dengan ratting. Lantas, mengapa Point Blank dan Counter Strike yang berlabel Mature digemari anak-anak? Merasa takdilarang mereka asyik ‘bunuh-bunuhan’. Kemana sistem pendidikan kita? Dimana para pendidik –para guru, orang tua? Jangan-jangan kesadaran itu belum muncul, kesadaran bermedia yang sehat. Disitulah Next G hadir, bertujuan merangsang kesadaran akan bermedia. Next G melakukan pemantauan dan edukasi tentang video game kepada publik. Didirikan 2011, Next G beranggotakan tiga orang, kedepannya keanggotaan akan terbuka untuk umum.

Status resmi

-

Kontak

M Iqbal Tawakal

Situs web: Next Generation

Facebook: Next Generation

Twitter: @nxgindonesia

SMS: 087788802262, format SMS : NGIsi Pesan

Posisi

Pemimpin proyek

Lokasi

Bandung

Deskripsi Proyek

Tujuan:

Next-G punya dua agenda utama; pemantauan dan peningkatan kesadaran bermedia melalui media literasi. Kedua agenda ini diarahkan pada satu tujuan pokok, yakni terciptanya iklim bermedia yang sehat. Aktivitas bermedia yang sehat, ialah pemanfaatan media massa secara sadar untuk hal positif.

Sasaran:

A. Memberi label/ ratting terhadap video game yang beredar di masyarakat.

B. Mengurangi penggunaan video game berlabel dewasa dikalangan anak-anak.

C. Menambah pengetahuan kepada orang tua dan guru tentang dampak dari penggunaan video game yang berlebihan pada anak-anak.

Latar belakang:

Di Indonesia proses pemantauan media masih terfokus ke televisi dan lembaga-lembaga pemberitaan (cetak, elektronik, dan online). Tapi, perkembangan industri hiburan telah melahirkan sesuatu yang lain, yakni video game. Di Eropa dan Amerika, lembaga pemantau video game sudah menjadi keharusan. Sebagai salah satu produk komunikasi, video game juga memenuhi syarat-syarat sebagai media massa. Attie Rachmiatie (2008) menyebutkan lima konsep inti mengenai media massa; sumber (pencipta pesan/ komunikator), pesan (bentuk penyajian), khalayak (orang yangditerpa pesan), konten (isi pesan), dan maksud dan tujuan pesan. Karena itu, pemantauan dan kontrol juga perlu dilakukan. Belum adanya lembaga formal yangmelakukan kegiatan pemantauan video games, menjadikkan produk komunikasi yang satu ini semakin ‘liar’. Selain pemantauan, aktivitas lain yang dirasa perlu adalah kegiatan media literasi. Art Silverblatt dan James Potter (2001) menyatakan lima elemen media literasi; (1)kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat, (2) pemahaman akan proses komunikasi massa, (3) kesadaran akan isi media yang membawa budaya kontemporer, (4) strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesanpesan media, (5) peningkatan pemahaman dan apresiasi terhadap isi media. Kegiatan macam ini di Indonesia mulai populer pada 2007, hanya saja kekhawatiran para praktisi dan akademisi masih terfokus pada dampak buruk televisi bagi anak-anak. Padahal Teori Jarum Hipodermik pada media massa juga berlaku untuk video games. Sehingga, bukan televisi saja yang punya dampak buruk jangka panjang, tapi video games juga.

A. Keterkaitan pada topik: Pemantauan Media

Peran KPI dan AJI sangat signifikan dalam memantau dan menjaga independensi media massa, cetak dan elektronik. Tapi, siapa yang memantau video games? Dunia hiburan bertransformasi bersama digitalisasi. Salah satu produk unggulannya : video games. Apakah semua video games itu sehat dan layak? Tentu tidak. Hanya saja, itu butuh pembuktian. Sebuah analisis, penelitian ilmiah, dan pengujian. Itulah yang dilakukan para “watch dog” bukan? Mereka mengawasi, lalu meniup ‘peluit’ bila ada melenceng. Next G, berusaha memantau video games, menganalisisnya, memberikan penilaian dan rekomendasi, lalu mempublikasikan hasilnya. Berbeda dengan para ‘watcher’ lainnya, Next G tidak memiliki ‘peluit’ apalagi ‘kentongan’ berupa regulasi. Bagi Next G, hal itu akan sangat sulit, karena itu jalur pendidikan menjadi pilihan. Next G tidak akan menegur para publisher/ developer video games bila ternyata permainan mereka ‘sakit’. Tapi, pendekatan akan dilakukan kepada user (biasanya anak-anak) dan kepara pendidik (orang tua dan guru) agar lebih ‘melek’ media –khususnya video games.

B. Masalah yang ingin diatasi dan keterkaitan dengan aktivitas

Mengapa anak-anak? George Herbert Mead (1930) dalam Mind, Self, and Society mengungkap bahwa anak-anak memiliki kecenderungan untuk menirukan peran-peran dari apa yang ia dapatkan. Hal ini disebabkan karena anak-anak belum memiliki peran yang pasti, sehingga mereka menyerap nilai dan norma (significant other) yang ia lihat sepertihalnya ketika ia bermain video game. Sebagai contoh, tahun 1999 dua orang pelajar Eric Harris (18) dan Dylan Klebold (19) membunuh 13 orang (24 terluka) di Columbine High School, mereka bunuh diri kemudian. Pakar Psikologi menyebutkan, selain faktor tekanan lingkungan, video games-lah yang bertanggung jawab atas sifat agresif mereka! Bahkan, beberapa video games tertentu secara signifikan memengaruhi agresifitas anak. Ironisnya anak-anak usia 2-11 tahun memiliki akses 71% terhadap video games berdasarkan penelitian Psychological Science (2010) seperti dikutip Vivanews (12/5/2010).

Masalah lain muncul, ketika Anda menengok game center, kebanyakan para penikmat Point Blank, Cross Fire, Counter Strike, World of Warcraft, Call of Duty, dll ternyata anak-anak (kebanyakan usia SD - SMP). Dalam pandangan Mead anak-anak pada usia tersebut berada pada tahapan meniru (play stage). Pada tahap itu anak-anak akan menirukan peran-peran yang telah ia dapatkan dari pengalamannya. Meski tak langsung namun efek samping dari penggunaan video games yang berlebihan akan membentuk kepribadian anak tersebut.

Masalah kian ‘akut’ ketika para para pendidik (guru, orang tua) acuh tak acuh terhadap keadaan seperti itu. Sikap tersebut sedikitnya dipengaruhi oleh dua faktor; kultural dan struktural. Kurangnya pendidikan dan pengetahuan tentang video games beserta dampak-dampaknya merupakan masalah kultural. Sedangkan di tataran struktural adalah tidak adanya lembaga formal yang mampu mengakomodasi permasalahan yang ditimbulkan oleh video games. Ketika kita menemukan tayangan yang bermasalah pada acara televisi, maka kita akan menghubungi KPI selaku regulator yang sah. Tapi, ketika kita menjumpai video game yang bermasalah atau anak-anak yang kecanduan video games, kita tidak tahu akan mengadu kepada siapa. Pemantauan dan Literasi Media –khususnya video games- mutlak dilakukan.

C. Keterkaitan pada kategori: Pemantau Media, Aksi

Apa yang bisa dilakukan penonton bila tim kesayangannya kalah? Mereka menggerutu entah ke siapa. Next G tidak ingin menjadi pemantau yang pasif. Mempublikasikan hasil penelitian bukan jaminan publik akan mengerti lalu sadar. Diperlukan sebuah aksi, interaksi, dan pendekatan langsung pada khalayak. Melalui kegiatan media literasi, Next G berusaha memberikan pemahaman kepada para pendidik (orang tua dan guru) tentang bagaimana menyikapi video game. Pemaparan mengenai dampak, pola berfikir, serta penyampaian contoh kasus, diharapkan mampu mendongkrak kesadaran bermedia para pendidik.

D. Aktifitas dan keterkaitan pada sasaran

  • Kontribusi untuk sasaran A – Pemantauan Video Games: Memberikan ratting / label (misalkan Semua Usia, Anak-anak, Dewasa, dll) terhadap video games yang beredar di masyarakat melalui publikasi di website.

    Aktivitas:

    • Melakukan pemantauan secara berkala dengan mengikuti perkembangan (trend) video games yang muncul dan beredar di masyarakat. Pemberian label/ ratting dilakukan setelah sebelumnya dilakukan penelitian ilmiah terhadap konten (content analysis) video game (PC) secara berkala. Menyusun ketetapan/ standar dalam melakukan pemantauan dan penelitian video games, serta merumuskan standard operational procedure untuk pemantauan konten video game. Membuat website untuk mempublikasikan hasil penelitian dan berbagai informasi mengenai kegiatan Next G juga sebagai sarana aspirasi masyarakat untuk video games, serta melaporkan anggaran kepada publik.
  • Kontribusi untuk sasaran B dan C – Kegiatan Media Literasi untuk Video Games: Melakukan pendidikan singkat mengenai kesadaran bermedia sehat di sekolah-sekolah dasar/ menengah pertama di Bandung. Melakukan seminar untuk publik yang bekerjasama dengan kampus-kampus.

    Aktivitas:

    • Mengadakan pertemuan tatap muka dengan guru/ orang tua di sekolah-sekolah dengan format talkshow membahas tema-tema terkait. Siswa juga dilibatkan dalam acara, namun dengan materi yang lebih sederhana tentang dampak negatif dari kecanduan video games.

    • Mengadakan pertemuan dengan universitas-universitas guna mendukung program ‘Media Sehat’ dan menggelar seminar sekaligus memaparkan data hasil temuan penelitian mengenai konten video game yang bermasalah. Mengajak dosen-dosen yang memiliki minat dan ketertarikan yang sama untuk turut mendukung program media literasi –khususnya video game. Mengajak mahasiswa-mahasiswa untuk ikut serta dalam program media literasi ke sekolah-sekolah (yang sebelumnya telah diberi pembekalan mengenai media literasi).

    • Mengirimkan artikel-artikel tentang pentingnya edukasi video games, dampak buruk dari permainan yang tidak sesuai usia, dan hasil penelitian/ pemantauan ke surat kabar atau media massa arus utama lainnya.

E.Latar belakang dan demografi pelaku proyek

Pemimpin proyek

Pegiat komunikasi dengan bidang kekhususan media massa dan jurnalistik, berorganisasi selama 3 tahun dengan pengalaman di bidang media selama 2 tahun, berumur 20an. Jumlah total anggota tim ada tiga orang, dua orang lainnya adalah mahasiswa jurusan antropologi berumur 20an.

F. Demografik kelompok target

Orang tua yang aktif di Komite Sekolah serta memiliki kesadaran yang kuat akan pentingnya pendidikan yang berkualitas. Para guru / pendidik formal di sekolahsekolah dasar dan/atau menengah pertama. Anak-anak sekolah dasar dan/atau menengah pertama dengan rentang usia 7-16an. Lokasi Bandung dan sekitarnya.

G. Hasil yang diharapkan dan indikator keberhasilan

  • Membuat anak-anak tidak bermain Point Blank dan Counter Strike tentu tidak akan mudah, apalagi sekejap. Next G, sebenarnya bukan badan hukum yang melarang seseorang untuk bertindak. Hanya saja, bila video game ini sampai membuat anak-anak kecanduan, merubah kebiasaan (habit), apalagi sampai merasuk hingga membentuk fakta sosial (social fact) di pikiran anak-anak, tentu akan sangat buruk. Peran orang tua dan guru menjadi signifikan, mengingat merekalah para pemandu ‘langkah kecil’ mereka. Kesadaran akan media yang sehat pada orang tua dan guru perlu ditingkatkan.

Indikator keberhasilan:

Pertama, Media Watch;

  • Aktif melakukan pemantauan dan penelitian ilmiah terhadap video games secara berkala, minimal 5 video games untuk satu bulan

  • Membuat barometer penilaian serta klasifikasi ratting untuk video games, serta memiliki SOP tentang pengawasan konten video games (berbentuk modul atau buku)

  • Memberikan label dan ratting terhadap video games (PC, untuk tahun pertama) *Rutinitas dalam mengelola website secara berkala di situs internet, dapat dilihat dari jumlah posting, rutinitas, feedback dari pembaca berupa komentar dan kritik

  • Jumlah pengunjung (traffic) website yang meningkat, dapat dilihat dari situs Alexa.com.

Kedua, Kegiatan Media Literasi;

  • Menggaet minimal 3 kampus sebagai mitra dalam melakukan literasi media. Menjalin kerjasama dengan dosen untuk membantu upaya kampanye media sehat kepada publik, serta merekrut mahasiswa (min. 3 orang) untuk ikut berkecimpung dalam agenda media literasi ke sekolah-sekolah

  • Melakukan kegiatan literasi media di minimal 10 sekolah (SD –SMP) di Bandung

  • Gencar melakukan kampanye media sehat dengan media literasi untuk video game melalui seminar, diskusi publik, atau sejenisnya (min. 3 kali dalam satu tahun)

  • Memiliki sekolah binaan (kelompok belajar/ OSIS) untuk ikut membina sekolahnya tentang video games dan dampaknya, yang dipantau secara berkala sekaligus akan dijadikan percontohan untuk kegiatan literasi di sekolah-sekolah

  • Melakukan survey awal dan akhir terhadap sekolah binaan guna melihat perubahan frekuensi penggunaan video game dewasa pada anak-anak

  • Lahirnya komunitas-komunitas baru yang memiliki minat sama dalam pendidikan Indonesia yang lebih baik.

  • Adanya artikel atau tulisan tentang video game atas nama Next G yang dimuat disurat kabar atau media massa lainnya.

H. Keterkaitan proyek dengan perbaikan media dan keadilan sosial

Media massa secara tradisional kerap diartikan sebagai surat kabar, radio, televisi, dan film. Namun kemajuan teknologi dan konvergensi membuat definisi media massa kian luas. Stephen Kline (2003) dalam Digital Play mengemukakan konsep Computer Mediated Communication (CMC), baginya dunia analog kini sudah berakhir. Perkembangan komputer yang pesat mampu mengakomodasi kepentingan komunikasi massa, kelompok, dan personal secara bersamaan. Sedangkan video game hanyalah salah satu dari sekian banyak media yang menggunakan CMC. Kline menjelaskan, video games tak sekadar urusan hiburan belaka. Kini, video games sudah mirip media massa pendahulunya (televisi dan radio); memuat norma, budaya, urusan politik, bahkan ideologi tertentu.

Developer video games tak sembarangan dalam memproduksi sebuah video game, apalagi sekelas Activision, EA Games, dan Microsoft. Mereka punya tim khusus untuk merancang semua itu, alhasil bukan video games rendahan yang ramai di game center. Pusat ratting video games juga tak main-main dalam memberi label. Bahkan para reviewer semisal ESRB, PEGI, dan CERO tak segan melarang sebuah video game untuk beredar di satu wilayah tertentu, karena dianggap rasis atau terlalu vulgar. Distribusi video game juga sangat dijaga ketat, video games untuk dewasa hampir tak mungkin dinikmati oleh anak-anak.

Namun, apa yang terjadi di Indonesia? Anak-anak bebas menikmati video games dengan label ‘Mature’ yang notabene penuh adegan kekerasan di game center atau tempat rental. Secara kasat mata kita bisa melihat lemahnya sistem regulasi di Indonesia. Karena itulah Next G tidak bergerak di ranah hukum dan regulasi, karena akan berbenturan dengan birokasi dan iklim pemerintahan yang kurang kondusif. Jalur pendidikan sengaja ditempuh dengan harapan terciptanya kesadaran dari diri masyarakat akan bahaya jangka panjang dari video games yang tidak sesuai. Meski langkah ini tidak mampu sepenuhnya merubah ‘wajah’ industri hiburan dan sistem pendidikan di Indonesia, tapi setidaknya bila masyarakat sadar, tentu mereka akan mulai ‘terbangun’ dan ‘berbenah’.

I. Durasi waktu aktifitas dilaksanakan:

Januari—Desember 2012.

J. Total kebutuhan dana untuk melakukan aktifitas:

USD 8.798,66 ~ Rp. 78.050.000,-

K. Kontribusi organisasi:

  • Terciptanya wadah pemantau media khusus video game, yang bisa dijadikan rujukan bagi masyarakat dalam memilih video game yang sesuai.

  • Adanya website Next G, sehingga masyarakat bisa memberi masukan dan mengadukan mengenai video game yang dianggap bermasalah atau mengajukan sekolahnya agar mendapat kunjungan kegiatan media literasi tentang video game

  • Proyek ini bersifat sosial dan bukan untuk kepentingan komersial.

L. Kontribusi dari kelompok target:

  • Adanya pemantau media khusus video game

  • Adanya komunitas yang melakukan kegiatan media literasi untuk video game

  • Mahasiswa dan dosen yang bergabung bisa menjadi pionir untuk membantu menyebarkan wacana media sehat di kampusnya –khususnya untuk urusan edukasi video games

  • Sekolah memiliki siswa-siswa yang sadar akan bahaya dari kecanduan video game

  • Guru dan orang tua merasa khawatir bila anaknya pergi ke game center, serta memberi pendidikan tentang dampak jangka panjang dari video game yang tidak cocok.



15 Feb 2012