Video untuk Perdamaian
Organisasi
Perkumpulan 6 Februari 2011 (6211) merupakan organiasi bertujuan mendorong persamaan hak-hak warga minoritas agama agar sejajar dengan warga negara yang lain. Organisasi ini dibentuk diantara jaringan jurnalis, pembela ham dan komunitas korban yang terlibat dalam advokasi kasus Cikeusik.
Status resmi
Perkumpulan 6211 tengah mengurus aspek legal formal namun telah menjalankan beberapa program.
Kontak
Firdaus Mubarik
Situs web: 6211.tv
Facebook: -
Twitter: @Perkumpulan6211
SMS: 087788802262, format SMS : VP
Posisi
-
Lokasi
Jakarta
Deskripsi Proyek
Tujuan:
Penurunan bias agama dalam pemberitaan minoritas agama; dan akses informasi alternatif dari komunitas minoritas agama.
Sasaran:
A. Memperkenalkan bias yang dilakukan dalam liputan media melakui video.
B. Penurunan diksi dengan tendensi bias negatif dalam pemberitaan komunitas minoritas agama.
C. Komunitas minoritas agama di daerah rawan kekerasan memiliki kemampuan melakukan dokumentasi video dengan kamera flip.
D. Komunitas dapat mempublikasikan dan mendistribusikan video yang dihasilkan.
Latar belakang:
A. Keterkaitan pada topik: Pemantauan Media
Yayasan Pantau tahun 2009 menggelar Survey Persepsi Wartawan Terhadap Islam melibatkan 600 wartawan di seluruh Indonesia. Hasilnya 64,3% wartawan setuju bahwa Ahmadiyah harus dilarang, sedikit diatas persetujuan mereka terhadap Fatwa MUI pada 63,5%.
Persepsi ini bisa dilihat dari hasil pemberitaan media dalam negeri ketika meliput minoritas agama. Media menggunakan diksi “aliran sesat” seperti pemberitaan yang dilakukan oleh Republika , Hidayatullah , bahkan Radar Bogor menggunakan 5 kata “sesat” dalam satu pemberitaan.
Media juga kerap menggunakan kata ganti “bentrok” untuk peristiwa serangan 1500 orang terhadap 20 korban di Cikeusik seperti dilakukan oleh TribunNews , Republika , Waspada Online atau MetroTV.
Andreas Harsono dalam Nieman Report menemukan bahwa media tiras terbesar yaitu Jawa Pos, Kompas, Pikiran Rakyat, Republika, Suara Merdeka, serta saluran Televisi berita TV One dan MetroTV memakai kata “bentrok” untuk peristiwa Cikeusik. MetroTV, TVOne dan stasiun dalam negeri lain memutar video lempar melempar batu antara penyerang dan warga korban, tegaskan penggunaan kata “bentrok”. Sementara Al Jazeera, ABC Australia, Associated Press Television Network, BBC dan CNN menggunakan kata “attack” dan menayangkan video pembunuhan dengan memblur adegan-adegan yang tidak manusiawi. Pemilihan diksi dan swa sensor ini menegaskan persepsi tidak hanya wartawan di lapangan tetapi redaksi.
Media melakukan simplifikasi isu “pertobatan” yang sebenarnya adalah “pemaksaan atas keyakinan” mereka. Acara diorganiasi oleh pemerintah-pemerintah lokal seperti di Ciaruten, Kabupaten Bogor. Mereka menunjukkan puluhan orang melakukan tanda tangan pernyataan keluar dari minoritas agama. Komunitas minoritas agama di Bogor menganggap acara itu tipu-tipu pertunjukan keberhasilan “pembinaan”. Hanya Jakarta Globe menyelidiki kemungkinan represi terhadap korban , media lain memilih sumber dari pemerintah atau penyelanggara acara atau korban yang terpaksa.
Hasil pemberitaan media membuat komunitas kecewa. Komunitas Manislor, Kuningan, mendapat eksposure pemberitaan selama Juli – Agustus 2010, sumber dari komunitas mengeluh pemberitaan menyudutkan posisi mereka. Media mendorong publik untuk mendukung serangan yang dilakukan terhadap komunitas Manislor. Mereka lalu melakukan seleksi ketat untuk akses dan boikot untuk media tertentu. Kondisi ini teramati ketika penulis mendampingi wartawan Trans7 melakukan liputan mengenai diskriminasi terhadap warga komunitas Manislor.
Perlu waktu lama untuk meyakinkan korban kekerasan berbicara pada media massa. Korban yang selamat dari Cikeusik pertama kalinya berbicara pada media 28 Juli 2011, 6 bulan setelah penyerangan terjadi. Akses ini digunakan oleh media luar negeri seperti Voice of America, Mainichi Shimbun, ABS-CBN, La Presse, LA Times, Associated Press. Sementara satu-satunya media berbahasa Indonesia yang melakukan wawancara terhadap korban adalah MetroTV. Para korban yang diwawancarai merasa bahwa pemberitaan yang dilakukan media-media asing lebih proporsional.
Atmakusmah Astraatmadja, mantan ketua Dewan mengaskan media dalam negeri kurang melakukan investasi untuk isu penting yang punya rentang panjang seperti isu minoritas agama
B. Masalah yang ingin diatasi dan keterkaitan dengan aktivitas
Melalui program ini kami akan mendokumentasikan bias wartawan dalam melakukan tugas jurnalistik berkait dengan komunitas minoritas agama. Dokumentasi dalam bentuk video akan memiliki peluang kampanye yang lebih baik dan luas. Video lalu digunakan dalam diskusi dan kunjungan redaksi pada media target untuk mendorong wartawan menghindari diksi dan sudut pandang yang bias.
Dalam diskusi dan kunjungan kami meminta perubahan diksi “segel” menjadi “serangan”, “merusak”, “memasuki lokasi tanpa izin” untuk menggambarkan penutupan paksa tanpa keputusan pengadilan yang sah dan dilakukan bukan aparat berwenang. Penghindaran diksi “bentrok” mendorong media untuk mencari narasumber diluar penyerang, pendukung dan polisi yang mempopulerkan kata tersebut. Sementara kata “sesat” harus digunakan secara proporsional bukan sebagai sikap wartawan dan redaksi.
Sebagai perbandingan program ini akan melatih komunitas minoritas agama di lokasi rawan kekerasan memproduksi video dokumenter secara mandiri dengan kamera flip. Tujuannya pertama, akan memberi informasi pembanding terhadap liputan media. Ia juga akan mengurangi ketergantungan terhadap media konvensional dalam menyuarakan dan advokasi isu-isu yang mereka hadapi. Kamera flip dipilih dengan tujuan agar sebanyak mungkin warga dapat terlibat dengan operasi sederhana dan murah.
C. Keterkaitan pada kategori: Pemantau Media, Konten Lokal
Pemantau Media
Dokumentasi bias wartawan dalam liputan terhadap komunitas minoritas minoritas agama. Dokumentasi dibuat dalam essay video dengan bahan awal menggunakan survey yang dilakukan Yayasan Pantau dan riset pemilihan diksi. Video yang dihasilkan akan disosialisasikan melalui diskusi dan pertemuan dengan redaksi media.
Konten Lokal
Melalui pelatihan, pendampingan, distribusi dan kompetisi warga komunitas didorong untuk menjelaskan indentitas dan aspirasi mereka.
D. Aktifitas dan keterkaitan pada sasaran
Kontribusi untuk sasaran A – Memperkenalkan bias yang dilakukan dalam liputan media melakui video.
Aktivitas:
Membuat riset dan dokumentasi persepsi 10 wartawan mengenai liputan yang dia atau lembaganya buat dalam bentuk essay video.
Kontribusi untuk sasaran B – Penurunan penggunaan diksi dengan tendensi bias negatif dalam pemberitaan komunitas minoritas agama.
Aktivitas:
Diskusi dan kunjungan yang melibatkan wartawan dan jajaran redaksi media dengan sarana video. Redaksi diminta untuk merubah diksi-diksi tertentu yang sarat bias. Penurunan penggunaan diksi bias dilihat dari pemantuan terhadap hasil pemberitaan sebelum dan sesudah intervensi.
Kontribusi untuk sasaran C - Komunitas minoritas agama di daerah rawan kekerasan memiliki kemampuan melakukan dokumentasi video.
Aktivitas:
Pelatihan membuat video dokumentasi menggunakan kamera flip atau handphone di 13 titik rawan kekerasan yaitu Jakarta, Bogor, Serang, Tangerang, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Tasikmalaya, Kuningan, Mataram, Makasar, Medan, Jogja.
Kontribusi untuk sasaran D - Komunitas dapat mempublikasikan dan mendistribusikan video yang dihasilkan.
Aktivitas:
Membuat website untuk mendistribusikan video, melakukan kunjungan pendampingan dan membuat kompetisi agar peserta pelatihan aktif mengirimkan hasil-hasil mereka. Kelompok yang memenuhi kuota video yang ditetapkan akan mendapat set kamera flip. Kampanye media dilakukan dengan kunjungan media ke lokasi-lokasi rawan kekerasan yang telah memiliki kemampuan dokumentasi.
E. Latar belakang dan demografi pelaku proyek
Pemimpin proyek
Firdaus Mubarik, sejak tahun 2005 aktif mendokumentasikan kekerasan berdasar sentimen agama di Jawa bagian barat. Memiliki pengalaman bekerja di media televisi komunitas, pemenang penghargaan AJI-UNICEF untuk liputan anak-anak korban kekerasan terhadap minoritas agama. Saat ini aktif mendorong dokumentasi mandiri dalam komunitas rentan kekerasan.
Pelaku Proyek
Anggota lainnya adalah kelompok muda usia 25-40 tahun yang terdiri dari penulis, videografer dan pembela HAM telah berkarya secara independen sejak tahun 2000 dalam ranah perbaikan mutu jurnalisme, dokumentasi dan terobosan liputan pada kasus HAM melalui media alternatif.
F. Demografik kelompok target
Kelompok muda komunitas minoritas agama. Berumur 20-35 tahun, memiliki kepekaan terhadap media. Serta wartawan dari media nasional di Jakarta telah bekerja minimal satu tahun dan terlibat dalam liputan mengenai komunitas minoritas agama.
G. Hasil yang diharapkan dan indikator keberhasilan
Hasil video dokumenter diharapkan membangkitkan kesadaran para wartawan untuk bersikap independen dari bias kepercayaan dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Lebih lanjut wartawan kemudian memiliki alternatif sumber pemberitaan yang mendukung usaha liputan bebas bias negatif terhadap komunitas minoritas agama.
Indikator keberhasilan:
Terdapat video dokumenter mengenai bias wartawan yang dapat digunakan sebagai bahan kampanye dan advokasi
Wartawan dan redaksi media terlibat dalam diskusi dan kunjungan
13 titik komunitas (Jakarta, Bogor, Serang, Tangerang, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Tasikmalaya, Kuningan, Mataram, Makasar, Medan, Jogja) memiliki kemampuan melakukan dokumentasi
Website yang dibuat memiliki 26 video dari komunitas yang telah dilatih
Video komunitas digunakan oleh media mainstream dalam liputan
Penurunan penggunaan diksi “sesat”, “bentrok”, “segel”, “pertobatan” yang memiliki bias negatif terhadap komunitas minoritas agama
H. Keterkaitan proyek dengan perbaikan media dan keadilan sosial
Perbaikan media
Program Video untuk Perdamaian mendorong wartawan dalam melakukan tugas jurnalistik independen dari bias. Ini dapat dicapai jika mereka mengetahui bias-bias yang merugikan korban, perubahan spesifik yang dapat dilakukan, serta memiliki sumber alternatif yang lebih berpihak pada korban.
Keadilan sosial
Dengan pemberitaan yang bebas bias masyarakat dapat memiliki informasi yang akurat mengenai komunitas korban. Perubahan persepsi dapat mempengaruhi kebijakan dan penghapusan streotipe terhadap korban.
I. Durasi waktu aktifitas dilaksanakan:
Januari 2012 – Desember 2012
J. Total kebutuhan dana untuk melakukan aktifitas:
IDR 550,000,000
K. Kontribusi organisasi:
Sebagian besar tenaga akan disediakan dalam bentuk Volounter
Para volounter juga akan meminjamkan peralatan mereka.
L. Kontribusi dari kelompok target:
13 komunitas/130 orang terlibat dalam pelatihan video
Komunitas target akan membuat video secara kontinyu
Kesediaan para wartawan untuk berbagi persepsi mereka
Lembaga media target memberikan hak untuk reproduksi liputan tersebut
Hasil dari proyek ini diperhatikan dan dipublikasikan oleh media massa sasaran target