Desa 2.0 - Sistem Tata Kelola Sumber Daya Desa - Laporan mentor pembimbing Bayu Setyo Nugroho tahap I



Date: 2015-01-20

Subject: Laporan Pertama

To: Siska, Yanuar, Yoss, Budi Satrio

Sampai bulan Desember, aktivitas Program Desa 2.0 (Sistem Tata Kelola Sumberdaya Desa) telah memasuki tahap lokakarya dan in house training di masing-masing kabupaten dengan peserta desa-desa yang menjadi sasaran program. Ada beberapa catatan dari proses yang sudah dilakukan:

Dari beberapa lokakarya yang saya ikuti, dan diskusi kecil yang dilakukan dengan beberapa desa sasaran program, Program Desa 2.0 telah memberikan kesadaran pada desa-desa tentang pentingnya pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk tata kelola informasi desa dan tata kelola sumberdaya desa secara lebih baik. Desa-desa dapat merasakan kemudahan dan keuntungan pemanfaatan TIK, untuk menginformasikan segala aktivitas yang ada di desa agar diketahui oleh banyak pihak. Tata kelola dan strategi informasi yang digunakan oleh desa-desa dalam Program Desa2.0 menggunakan website desa dan media sosial terutama facebook dan twitter. Program Desa 2.0 momentumnya sangat tepat dengan diberlakukannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Program Desa 2.0 sejalan dengan UU No. 6 Tahun 2014, khususnya terkait dengan keharusan desa untuk menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas melalui sistem informasi desa. Dalam hal ini desa-desa sasaran program berkomitmen untuk mewujudkannya dengan website desa sebagai pintu masuknya. Program Desa 2.0 yang menekankan pada upaya tata kelola informasi dan sumberdaya desa secara lebih baik, telah mendorong desa-desa melakukan “pemotretan” terhadap semua potensi yang ada di desa. Ini adalah dampak yang sangat penting, karena menjadi bagian dari upaya mengenal desa sendiri, yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan perencanaan pembangunan desa yang lebih menyeluruh. Fasilitator program perlu terus dibekali dengan pemahaman terhadap UU Desa. Pemahaman terhadap UU Desa tidak saja terkait soal keharusan desa melakukan transparansi atau keterbukaan informasi publik, tetapi juga terkait dengan “semangat” UU Desa itu sendiri yang hendak menguatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (self governing community). Dalam hal ini fasilitator program diharapkan mampu memahami hakikat kewenangan desa, kemudian bagaimana merumuskan dan menjalankan kewenangan desa itu (yang nantinya diwujudkan dalam berbagai Peraturan Desa), sebagai perwujudan dari asas rekognisi dan subsidiaritas. Pendekatan pembelajaran secara informal (dengan beberapa kali datang ke desa) yang dilakukan oleh para fasilitator pada kegiatan in house training cukup efektif. Bahkan dengan pendekatan ini banyak desa-desa di luar sasaran program yang berminat untuk mengikuti proses pembelajaran, karena merasa tertarik dengan cerita yang disampaikan oleh desa-desa sasaran program tentang manfaat dan bagaimana mengelola informasi desa melalui website desa. Dengan pendekatan ini pula telah menimbulkan antusiasme dan semangat belajar dari desa-desa. Dari kasus ini bisa disimpulkan bahwa belajar antardesa bisa dijadikan metode pembeljaran alternatif sebab cukup efektif dalam menularkan “kesadaran baru” pada desa-desa yang lain. Pendampingan-pendampingan teknis masih sangat dibutuhkan oleh desa-desa, karena pengetahuan Pemerintah Desa terkait tentang pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang digunakan dalam Program Desa2.0 (komputer, internet, website, sosial media) masih sangat terbatas. Untuk itu pelatihan-pelatihan teknis masih perlu terus dilakukan. Termasuk juga pelatihan menulis berita untuk website desa maupun teknis pendokumentasian melalui foto dan video. Tantangan lain yang dihadapi dalam Program Desa2,0 adalah adanya keterbatasan akses internet di beberapa desa, sehingga hal ini perlu dikomunikasikan secara terus menerus dengan pihak-pihak yang terkait dengan penyediaan layanan infrastruktur internet, termasuk Pemerintah atau Pemerintah Daerah, sehingga bisa dipecahkan solusinya.

Tags:



January 2015 | CC BY 4.0