Naomi Srikandi: Tentang Seni dan Inspirasi



naomi srikandi


Untuk Naomi menjadi seniman itu tidak pernah jadi cita-cita. Besar di lingkungan seni, putri dari W.S Rendra (Alm) dari bangun tidur melihat orang latihan teater, sebelum tidur melihat orang menulis naskah hingga belajar silat. Berkesenian seperti menari, menyanyi, main musik di sekolah, atau ikut baca puisi, deklamasi, menjadi hobi dan keseharian, sementara profesi lain yang tidak diketahui dan dianggap misterius menjadi cita-citanya, Naomi ingin menjadi psikolog, arsitek, ahli hukum. Dengan segala aktivitas seninya, ia tetap tidak melihat seniman sebagai profesi idaman. Pada tahun 1979 saat bapaknya dipenjara tanpa pengadilan karena mengkritik pemerintah, Naomi kecil merasa bahwa profesi seniman itu profesi berbahaya. Pengalaman ini membuatnya belajar bahwa orang yang dipenjara belum tentu penjahat. Ia juga jadi belajar makna kesenian.

Sejak umur 4 tahun Naomi mulai “ikut-ikutan”, TVRI Yogya memproduksi drama dan disiarkan secara nasional, ia mulai terlibat drama-drama televisi produksi lokal, Ibunya membawanya ikut dalam Mimbar Agama Islam. Naomi bercerita bahwa dulu, setiap Jum’at, Mimbar Agama Islam memiliki sisipan drama pendek dengan nilai moral yang kemudian dibahas, jadi tidak melulu ceramah, namun ada juga pertunjukan, ia pun kerap berpartisipasi. Kenyang ikut drama televisi TVRI, akting, sanggar, sekolah vokal, Naomi masuk SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta dan bertemu dengan teman-teman yang ingin mendirikan teater. “Kebetulan waktu itu di Yogya ada festival teater SMA. Aku, Hanung Bramantyo, dan temen-temen yang lain satu sekolah membentuk karya yang kami buat sendiri”. Hal ini menjadi pengalaman yang sama sekali lain untuk Naomi, sebelumnya teater untuknya adalah permainan orang dewasa dimana anak-anak ikut terlibat. Disutradarai, diatur lakunya, namun di SMA ia belajar mengorganisir pertunjukkan bersama teman-teman seumuran. Walaupun memiliki posisi aktor, tanggung jawab atas pertunjukan itu ada di pundaknya.

Kebetulan waktu itu di Yogya ada festival teater SMA. Aku, Hanung Bramantyo, dan temen-temen yang lain satu sekolah membentuk karya yang kami buat sendiri

Dibesarkan sebagai Islam, panutan Naomi sejak kecil adalah kakaknya, Sarah Drupadi (Alm). Sarah mengajarkannya bagaimana menyikapi persoalan sebagai anak-anak dan perempuan, memberi masukan untuk lomba baca puisi hingga urusan taksir-taksiran cowok. Untuk Naomi, Sarah itu hebat, seperti ensiklopedia berjalan, diluar keterbatasan fisiknya, ia memiliki kemampuan imajinasi luar biasa. Sarah membaca buku, Naomi ikut membaca buku, begitupula dengan musik. “Misalnya Mbak Sarah kelas 4 SD dia baca biografi Soekarno, nanti aku kelas 4 SD juga baca biografi Soekarno. Nanti kelas berapa dia baca apa, aku baca buku dia. Mbak Sarah dengerin Pink Floyd, nanti aku juga dengerin Pink Floyd. Dia dengerin Beatles, aku dengerin Beatles.” Tetapi khusus Madonna, Sarah mengijinkan Naomi untuk merayakan Madonna bersama, ia menjadi idola berdua karena menampilkan sosok perempuan pemberontak. Poster Madonna dipasang di kamar sendiri-sendiri, Naomi mengingat kenangan berdua joget bareng didalam kamar diiringi ‘Papa Don’t Preach‘nya Madonna. Naomi baru mulai menulis setelah dewasa, sebelumnya ia kurang percaya diri karena membanding-bandingkan terus tulisannya dengan kemampuan Sarah menulis, “Tulisanku ngga pernah jadi…” Ujarnya. “Baju, sepatu, lama-lama ukuran kami hampir sama, sampai ukuranku lebih besar dari dia karena pertumbuhan dia terhambat.” Sebagai difabel, Sarah memiliki kelainan jaringan ikat dimana ia tidak bisa tumbuh normal, kemampuan berlari Sarah berkurang masuk usia lima tahun menjadi jalan cepat, tangan yang tadinya bergerak bebas makin terikat, dan akhirnya ia tutup usia diumur 18 tahun. Sepeninggalan Sarah, Naomi baru bisa muncul sebagai diri sendiri dan menyadari pengetahuan yang didapatkannya dari Sarah dapat dimaknakannya kembali menjadi pengetahuannya sendiri. Sarah yang ingin jadi ahli filsafat, kontemplatif dan kreatif, rajin menulis - mempengaruhi proses berpikir Naomi untuk mendalami lebih jauh bagaimana menghayati hidup.

OK deh, aku seniman!

Selepas SMA Naomi mulai berpikir potensinya sendiri dan minat, karena harus mulai mengambil jurusan untuk kuliah. Ia merasa jurnalisme menarik karena keinginannya untuk bisa menulis. “Yang jelas tidak jadi seniman”, tidak seperti Bapak dan Ibunya, karena ia tahu pengalamannya mengupayakan pertunjukkan di SMA bersama Hanung Bramantyo berat sekali dan membuatnya ketinggalan pelajaran disamping menyita waktu dan pikiran. Profesi sebagai wartawan mulai menarik minatnya dan Naomi memilih Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Masuk kuliah ia bertemu Teater Garasi yang sebelumnya teater Fisipol UGM. “Tidak mau ikut teater ah”, ujarnya, namun setelah ikut nongkrong-nongkrong bersama anak teater yang tidak melulu berdiskusi mengenai teknis teater, Naomi memutuskan untuk bergabung pada 1994. Teater Garasi untuk Naomi adalah tempat diskusi bersama sesama mahasiswa lintas minat, lintas jurusan, dan lintas kampus. Pada 1998 gejolak politik dan luapan aktivitas mahasiswa menjadikan teater tempat alternatif cara baca kenyataan yang terjadi di masyarakat. Teater menjadi forum terbuka yang menjadi sangat menarik untuk Naomi, ia menyadari kini ia melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Bapaknya, WS Rendra, dengan Bengkel Teaternya. Semasa kecil ia berpikir bahwa kesenian adalah ekspresi, keindahan, bagaimana berakting bagus. Setelah tahu teater lebih luas dari yang ia sadari ia membatalkan sumpahnya untuk tidak jadi seniman, dan gagal jadi wartawan. “OK deh, aku seniman!”

Tahun 1999 Teater Garasi menjadi independen dan lepas dari Fisipol UGM. Naomi dan teman-teman mempertajam visi dan misi organisasi, artistik, dan berjibaku antara amatir dan profesional dikarenakan ketiadaan struktur untuk menjadi profesional. Tanpa industri teater, antara kuliah dan kerja seni seolah-olah tidak berkaitan. Namun kenyataan bahwa Teater Garasi lahir dari Fisipol UGM, menurut Naomi mempengaruhi jalan Teater Garasi selanjutnya. Lebih lanjut dengan Artis Kolektif, Naomi menjelaskan perbedaannya dengan Theater Company (Perusahaan Teater), sebagai perusahaan strukturnya jelas, namun Artis Kolektif lebih seperti seniman yang bekerja memenuhi visi bersama seniman-seniman lain yang terlibat, sehingga hubungannya lebih egaliter. Diciptakannya struktur dalam Artis Kolektif untuk memudahkan manajemen dan fungsi. Seperti Ruang Rupa, ujarnya, itu Artis Kolektif, kebanyakan komunitas seni itu adalah Artis Kolektif. Di tahun 2008 Naomi mulai bekerja dalam struktur manajemen dengan fungsi Associate Artistic Director, dan mulai menerima tanggung jawab yang lebih besar. Pada tahun 2013 dapat Teater Garasi mendapatkan penghargaan Prince Claus Award. Persamaan dan perbedaan pandangan sesama Artis Kolektif mulai tumbuh seiring dengan bertambahnya umur dan semakin matangnya kompleksitas pengalaman mereka. “Makin banyak perbedaan, dan banyak juga persamaan, kalau ada perbedaan antar pekerja seni, bisa tajam juga. Belum lagi visi artistiknya, padahal visi ini ditentukan bersama-sama.”

Makin banyak perbedaan, dan banyak juga persamaan, kalau ada perbedaan antar pekerja seni, bisa tajam juga. Belum lagi visi artistiknya, padahal visi ini ditentukan bersama-sama.

Setelah 20 tahun bersama Teater Garasi, Naomi ingin mengembangkan apa yang ia dapat di sana di tempat lain dan pada tahun 2016 ia membuat Kolektif Baru yang ia namakan, “Peretas”, singkatan dari Perempuan Lintas Batas. Menurut Naomi perjuangan seniman itu khas dan berbeda dari profesi lainnya, terutama di seni pertunjukan, dimana infrastruktur diciptakan sendiri. Residensi untuknya adalah keluar dari wilayah aman, mencoba berada di lingkungan lain dan berdiam disana, bertemu, berbenturan, bergesekan dengan orang-orang dan ruang yang berbeda. Pekerja seni diguncang kepercayaan dan keniscayaannya, “Karena sebagai individu kita membangun basis pengetahuan, informasi kita olah jadi pengetahuan.” Sebagai seniman Naomi berpikir bahwa guncangan-guncangan ini penting karena seniman membuat landasan kepercayaan baru dari yang stabil, menjadi tidak stabil, dibuat bergerak. “Supaya lebih maju, bila perlu bongkar semua yang sudah disusun dan ditulis, dekonstruksi, bikin lagi.” Ujarnya.

Untuk Naomi inspirasi terbesarnya adalah semua pekerja seni yang pernah bekerja dan bergulat dengannya, teman-teman, mitra kerja, karena merekalah yang intim mengenalnya. “Seniman yang macem-macem, mereka itu insipirasi untukku.”

Beberapa karya yang dikenangnya adalah Waktu Batu, yang mengajarkannya bahwa penciptaan adalah proses berpikir dan proses kolektif, tidak melulu proses individu. “Making is Thinking” Ujarnya. Waktu Batu juga yang membuatnya membongkar seluruh kepercayaannya mengenai apa itu kesenian. Dari kanak-kanak hingga remaja ia melihat bapak (WS Rendra Alm) berkesenian dalam konsep, dan tidak terlalu mempraktikkannya. Ia mempelajari permukaannya sebagai aktor, belajar pengertian bagaimana cara akting yang bagus. Tapi begitu di Teater Garasi dan terlibat di Waktu Batu, seluruh tas pengetahuannya dibongkar, dan ia melihat metodologi teater yang bisa dipegang dan dikembangkannya. Waktu Batu membahas sejarah modernisasi, globalisasi, dengan pijakan konsep waktu orang jauh. Berbicara mengenai kegentingan transisi yang menarik, karena membuat Naomi melakukan riset yang dalam sebagai Aktor. Setelah Waktu Batu 1, banyak lagi pertanyaan bisa diproduksi, sehingga menjadi karya lanjutan Waktu Batu 2 dan 3.

Seniman muda atau masih baru belajar dari seniman, belajar membentuk diri, boleh fokus pada peningkatan kapasitas teknis sebagai seniman, namun seniman matang harus punya komitmen etis dalam profesinya.

Naomi percaya profesi sebagai seniman, pekerja seni, harus memikirkan kemajuan politik dalam pengertian hubungannya dengan kekuasaan. “Pertunjukkan dan lukisan itu kan seperti hasil dari ketegangan ekspresi, disana ada relasi kuasa. Seniman sebenarnya bergulat dengan hal tersebut. Aku ngga kuat ah jadi seniman profesional, bukan berarti aku tidak mau jadi seniman profesional - namun profesi seniman yang mengasingkan seseorang dari tanggung jawab politik, ngga ah.” Untuk Naomi pekerja seni kental tanggung jawab politiknya, inspirasinya adalah Arundhati Roy yang konsisten antara karya dan dan visinya. “Seniman muda atau masih baru belajar dari seniman, belajar membentuk diri, boleh fokus pada peningkatan kapasitas teknis sebagai seniman, seperti bagaimana melukis dengan baik, berakting yang baik. Ini berarti mereka boleh sewenang-wenang karena masih belajar mengolah mediumnya sendiri. Namun seniman yang sudah matang harus punya komitmen etis dalam profesinya. Tidak bisa, misalnya penyair berkarya dan membuat puisi mengenai kehormatan wanita, kemudian memperkosa dan tidak mengakuinya, berkelit dan bahkan didukung oleh lingkungannya untuk bisa lolos dari tuduhan tuduhan itu. Lihat tuh di Hollywood, terakhir Kevin Spacey dilaporkan oleh beberapa orang melakukan pelecehan seksual, aku tidak bisa melihat aktingnya sebagai netral lagi. Padahal aku suka Kevin Spacey, paling tidak Arundhati Roy itu tegas, karena dia memang aktivis.” Lebih jauh mengenai konsistensi, menurut Naomi biografi seniman dibuat oleh perspektif seniman tersebut, apabila seseorang berbicara mengenai keadilan lalu berlaku tidak adil, seniman tersebut tidak memiliki komitmen dalam hidupnya dan ia tidak merasa nyaman menikmati karya palsu. Ia menyadari hal ini bisa membuat depresi, keinginan untuk selalu benar secara politik (Politically Correct). Pergulatan dan dialektikanya dengan kenyataan lingkungannya sendiri seperti, “Perang melawan diri sendiri.” Ujarnya. Ia melihat karya-karya seniman adalah komitmen etis terhadap persoalan lingkungan. Dilain pihak, ia menyadari bahwa manusia juga dinamis, tidak statis, dan bisa berubah. “Sekarang mengidolakan Arundhati Roy, melihatnya sebagai baik dan perlu dicontoh, inspiratif, namun disaat lain berubah, bisa jadi saya melihatnya seperti, ngga perlu dilihat lagi lah, biasa aja…”

Sumber: Naomi Srikandi. Wawancara oleh Hillun Villay Napis, Jakarta 4 November 2017. Disunting oleh Siska Doviana.

Tags: